Direktur Eksekutif AII Usman Hamid menyoroti adanya serangan fisik dan intimidasi oleh sekelompok orang terhadap kegiatan yang sah dan dijamin oleh Undang-Undang. Ironisnya, kata dia, polisi terlihat tidak bertindak untuk melindungi para peserta aksi dan diskusi.
“Masyarakat menyaksikan lagi sikap polisi yang tidak profesional. Kepolisian seperti merestui aksi sekelompok orang yang main hakim sendiri. Dengan cara kekerasan, kelompok itu menyerang unjuk rasa damai dan acara berkumpul yang damai dan sah,” kata Usman dalam keterangan tertulis, Senin, 30/9/2024.
Usman juga menyoroti perilaku polisi yang diduga membiarkan serangan-serangan tersebut terjadi tanpa tindakan tegas.
Dalam beberapa rekaman video memperlihatkan polisi yang berada di lokasi kejadian tidak bertindak untuk menghentikan serangan.
“Serangan terhadap kebebasan sipil yang dilindungi oleh konstitusi ini jelas tidak dapat dibenarkan. Kami mendesak Kapolri segera mengusut dalang di balik semua aksi intimidasi ini serta menindak tegas polisi yang membiarkan insiden-insiden ini terjadi,” ujarnya.
Berdasarkan data Amnesty, sejak 2019 hingga September 2024, terdapat setidaknya 255 kasus intimidasi terhadap pembela hak asasi manusia, termasuk aktivis, petani, dan jurnalis.
Amnesty International Indonesia menyerukan agar DPR RI segera mengevaluasi kinerja kepemimpinan polisi di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memastikan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
“Tindakan intimidasi ini harus segera diusut untuk melindungi kebebasan berekspresi dan hak-hak sipil di Indonesia,” tegasnya.
Untuk diketahui, dalam sepekan terakhir terdapat dua tindakan represif ke kelompok masyarakat sipil, yaitu pada saat Global Climate Strike pada 27 September 2024 dan pada diskusi Forum Tanah Air pada 28 September 2024.
Kedua acara tersebut diwarnai oleh tindakan kekerasan oleh sekelompok orang tak dikenal, yang merusak properti aksi serta melontarkan ancaman verbal.
Di samping dua kasus tersebut, di Pati, Jawa Tengah, sekelompok orang juga merusak tanaman milik petani Pundenrejo dan merampas spanduk aspirasi mereka.*