Senin, 07 Juli 2025
Menu

UU P2SK Kutip Uang Rakyat Untuk Pembiayaan Negara

Redaksi
Bhima Yudhistira Direktur Eksekutif Center of Economic And Law Studies (CELIOS) dalam Podcast Forum Ngobrol Bareng Darwin (Ngopdar) di Forum Keadilan TV, pada Kamis, 12/9/2024. | YouTube Forum Keadilan TV
Bhima Yudhistira Direktur Eksekutif Center of Economic And Law Studies (CELIOS) dalam Podcast Forum Ngobrol Bareng Darwin (Ngopdar) di Forum Keadilan TV, pada Kamis, 12/9/2024. | YouTube Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Ditengah isu kelas menengah masyarakat Indonesia mengalami penurunan dan tekanan ekonomi yang besar. Permasalahan biaya hidup yang semakin tinggi sehingga mereka harus terpaksa memakan tabungan dan nekat mengambil pinjaman online (pinjol).

Kini, msyarakat Indonesia akan mengalami pemotongan gaji untuk iuran Program Pensiun wajib yang saat ini masih dalam proses pengkajian

Kebijakan baru tersebut merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

“Tindak lanjut Pasal 189 ayat 4 di mana pemerintah dapat membuat program pensiun tambahan yang bersifat wajib untuk pekerja dengan penghasilan tertentu yang dilaksanakan secara kompetitif,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono dalam acara HUT Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) ke-39 di Jakarta, Selasa, 3/9/2024.

Di sisi lain, berdasarkan Pasal 189 ayat 4 Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) disebutkan bahwa kriteria pekerja yang akan dikenakan dana pensiun wajib adalah yang telah memperoleh pendapatan di atas batas tertentu.

Kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan sehingga untuk minimal nominal gaji pekerja yang akan dikenakan kewajiban iuran ini pun masih belum dapat diungkapkan.

Direktur Eksekutif Center of Economic And Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyinggung bahwa pemerintah sudah memiliki permasalahan yang ada terkait BPJS Ketenagakerjaan, Jiwasraya hingga BP Tapera yang diketahui bermasalah dan hingga saat ini belum tuntas dalam penyelesaiannya.

“JHT jangan lupa juga, jaminan pensiun yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, jadi kalau double-double itu kan jadi pertanyaan, jadi pemerintah ini sebenarnya ngurus BPJS ketenagakerjaan dengan jaminan hari tua dan pensiun aja itu masih banyak celahnya dan kita jangan lupa juga penghimpunan dana di publik itu yang bermasalah dan sampai hari ini belum selesai Jiwasraya masih banyak polisnya yang belum dibayar, BP Tapera itu juga bermasalah,” jelas Bhima Yudhistira dalam Podcast Forum Ngobrol Bareng Darwin (Ngopdar) di Forum Keadilan TV, pada Kamis, 12/9/2024.

Ia kemudian menyebut bahwa iuran program pensiun wajib yang akan mengambil dana dari masyarakat memiliki waktu yang bersamaan dengan diperlukannya pembiayaan APBN 2024 yang mempunyai biaya yang tinggi. Bhima mengambil contoh bagaimana pensiun menjadi alasan pemerintah bahwa masyarakat yang memasuki masa lansia di Indonesia tak memiliki pensiun.

“Jadi kalau dilihat tadi nyambung dengan tidak kreatif, ini jangan-jangan memang by design, memang disaat bersamaan karena pembiayaan untuk APBN butuh besar sekali nih tahun depan itu harus dicari dana dari publik yang mengendap dalam jangka waktu lama untuk tadi membeli surat hutang, kemudian nanti resep bisa macam-macam,” ujarnya.

“Misalnya soal pensiun, pensiun itu alasannya adalah masyarakat kita khawatir nih, sebentar lagi bonus demografi akan selesai, kemudian masih banyak yang masuk usia lansia atau nonproduktif itu tak punya pensiunan,” lanjutnya

Bhima kemudian mempertanyakan apakah kelompok usia lansia tidak memiliki dana pensiun tersebut dikarenakan tidak memiliki dana pensiun yang dikelola langsung oleh pemerintah atau akibat pendapatannya yang rendah.

“Nah permasalahannya orang itu enggak menyiapkan pensiun itu karena tidak ada dana pensiun yang dikelola pemerintah atau karena pendapatannya memang enggak mampu lagi dia untuk investasi, untuk mengelola sendiri, beli properti misalnya bukan itu orang Indonesia ini sulit untuk bisa sejahtera pada waktu masa pensiun,” tambahnya.

Undang-Undang (UU) Cipta Kerja juga menjadi salah satu faktor upah mininum di masyarakat yang tidak mampu mencukupi pendanaan dana pensiun mereka. Menurutnya, apa yang harus disoroti adalah terkait masalah fundamentalnya.

“Karena pendapatan di usia produktifnya dengan upah minimum Undang-Undang Cipta Kerja yang sangat kecil formulanya, itu enggak mampu untuk menyiapkan hari tuanya, jadi masalah fundamentalnya ke mana, nah akhirnya kita ngeliat nih, Tapera juga alasannya sama, banyak yang belum punya rumah dan lain-lain, ‘kenapa belum punya rumah?’, masa suku bunga dan juga masalah pendapatan,” ungkapnya.

Berdasarkan data Bappenas, kata Bhima, dalam waktu 10 tahun terakhir masyarakat Indonesia mengalami dalam hal ini disposable income yang terjadinya penurunan pendapatan per kapita PDB.

“jadi simplenya adalah sebenarnya masyarakat kita ini itu makin enggak menikmati pertumbuhan 5%, tidak menikmati berbagai pembangunan pemerintah jadi kelas menengahnya tadi terus turun, salah satunya ketika dilihat lebih detail banyaknya pungutan dan iuran yang sudah dibebankan sekarang” tuturnya.

Dalam hal ini, Bhima menekankan agar dapat mempersiapkan pensiun hingga perumahan bagi mereka yang masih belum memilikinya, pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan dan menaikkan pendapatan minimum.

“Jadi kalau misalkan tujuannya adalah mempersiapkan pensiun, perumahan untuk kasus Tapera, orang bisa kuat beli asuransi kendaraan bermotor sendiri privat, pendapatannya dong dinaikin, disposable incomenya yang harus dinaikin, pekerjaannya yang harusnya terbuka lapangan lebih banyak,” ujarnya.

“Ini saya ambil contoh kasus di Malaysia dan Singapura itu dua negara tetangga kita yang punya dana pensiun wajib, mandatory provident fund, tapi lihat dulu negara itu melakukan pemberlakuan wajib dana pensiun, PDB perkapitanya Singapura itu 80.000 ribu lebih dolar, Malaysia itu 12.000, Indonesia 4.800 per kapita, artinya apa, mereka bayar 9%, 11% patungan dengan pemberi kerja itu memang begitu mereka masuk masa pensiun, itu benar-benar mereka menikmati dari provident fund atau dana pensiun tadi,” lanjutnya.

Ia menyebut jangan sampai peraturan pemerintah mengenai iuran pensiun wajib bagi pekerja menjadi sebuah beban baru hingga tak dapat membiayai kehidupan sehari-hari.

“Nah orang Indonesia, jangan sampai dia mengurangi untuk konsumsi bahan pokok, mengurangi untuk bayar cicilan, akhirnya kan kesusahan bayar cicilan, itu juga bisa jual aset dan lain-lain jadi bukan memperkaya pada waktu usia pensiun, memiskinkan pada saat masuk usia produktif,” imbuhnya.

Tidak hanya itu, Bhima kemudian turut mempertanyakan menyoal UU PS2SK yang yang tiba-tiba muncul hingga menimbulkan kecurigaan terhadap pengumpulan dana masyarakat yang akan dikelola oleh pemerintah. Pengumpulan dana ini pun dinilai dapat membiayai sejumlah program hingga proyek besar yang sedang berjalan atau yang akan dieksekusi pada 2025.

“Itu yang kemudian menjadi pertanyaan, nah masalahnya payung dari yang aneh-aneh ini itu munculnya pada waktu pandemi, Undang-Undang PS2SK, disaat pandemi konteksnya adalah ini ada penghimpunan dana yang cukup besar, untuk membiayai utang yang akan jatuh tempo setelah pandemi dan itu harus dicari salah satunya dari dana publik jadi bukan hanya tidak kreatif, tapi memang by design, jadi bayangkan ya kalau misalkan dana ini ngumpul, itu pemerintah bisa dapat dana yang bisa dibilang ya besar sekali,” jelasnya.

“Mau buat apa, IKN bisa, mau buat makan bergizi gratis bisa, mau buat infrastruktur bagaimana pun bisa orang, dia mengembalikan tenornya ke depan 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, jadi ini dapat pinjaman gratis dari publik, kan intinya kita dipungut untuk wajib, uangnya ternyata dikelola negara dan itu catatannya juga kalau dikelola amanah, tingkat fraudnya itu yang sekarang belum selesai,” sambungnya.

Bhima mengimbau kepada masyarakat agar tidak hanya berpikir kritis terkait pungutan atau iuran yang akan dilakukan pemerintah, tapi juga bersikap skeptis.

“Nah jadi saya bilang masyarakat wajib bukan hanya kritis, tapi skeptis bahwa setiap pungutan yang muncul akhir-akhir ini sikapnya bukan kritis lagi tapi skeptis, karena pemerintah enggak punya empati juga sama masyarakat tadi yang sedang tertekan,” tandasnya.*