Selasa, 15 Juli 2025
Menu

Ada Potensi Modus Hanky-Panky Dalam UU P2SK

Redaksi
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat Podcast Forum Ngobrol Bareng Darwin (Ngopdar) di Forum Keadilan TV, pada Kamis, 12/9/2024. | YouTube Forum Keadilan TV
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat Podcast Forum Ngobrol Bareng Darwin (Ngopdar) di Forum Keadilan TV, pada Kamis, 12/9/2024. | YouTube Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Pemerintah saat ini tengah menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait program pensiun wajib pekerja. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono, menyebut bahwa aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) ini dirancang untuk dapat meningkatkan replacement ratio pekerja.

Sebagai informasi, replacement ratio sendiri adalah pendapatan pekerja ketika pensiun dibandingkan nilai gaji yang diterima ketika masih aktif bekerja. Menurutnya, mengenakan replacement ratio perlu dilakukan karena pada saat ini Indonesia masih berada di level 15-20 persen.

Padahal Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau International Labour Organization (ILO) menetapkan nilai replacement ratio setidaknya 40 persen dari penghasilan terakhir pekerja.

Di samping itu, berdasarkan Pasal 189 ayat 4 UU P2SK, disebutkan bahwa kriteria pekerja yang akan dikenai dana pensiun wajib adalah yang sudah mempunyai pendapatan di atas batas tertentu.

Walaupun demikian, tidak dijelaskan lebih lanjut berapa minimal nominal gaji pekerja yang akan dikenakan kewajiban membayar iuran dana pensiun tersebut. Dana pensiun wajib pekerja akan melibatkan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan akan dikelola secara kompetitif.

Tetapi, terkait pengelola dana pensiun wajib tersebut masih dalam tahap pembahasan dan belum dapat disebutkan. Tak hanya itu, program iuran wajib ini juga berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan yang sebelumnya sudah diikuti oleh seluruh pekerja.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat mengatakan bahwa sebelum adanya program pensiun wajib pekerja, telah ada asuransi wajib kendaraan bermotor yang sudah diberlakukan.

“Ada lagi sebelum itu, namanya asuransi wajib kendaraan bermotor untuk third party liability, jadi contohnya begini, kita naik mobil nyerempet mobil, nah itu harus ada asuransinya, jadi setiap mobil, setiap motor harus bayar asuransi wajib kendaraan ini,” ujar Jumhur Hidayat dalam Podcast Forum Ngobrol Bareng Darwin (Ngopdar) di Forum Keadilan TV, pada Kamis, 12/9/2024.

Ia menjelaskan bahwa setiap mobil dan motor wajib untuk membayar asuransi wajib kendaraan dan asuransi ini juga dikenakan kepada masyarakat kalangan bawah.

“Jadi contohnya begini, kita naik mobil nyerempet mobil, nah itu harus ada asuransinya, jadi setiap mobil, setiap motor harus bayar asuransi wajib kendaraan ini,” katanya.

“Ada 140 juta motor roda dua, ada 26 juta mobil dan kendaraan roda empat lainnya, jadi ada sekitar 170 juta, itu masing-masing unit harus bayar asuransi wajib untuk third party liability, ini luar biasa dan itu ada hitungannya aja kalau 0,3% sampai 1% dari harga kendaraan sudah puluhan-puluhan triliun dan itu masyarakat bawah, motor itu kena semua,” lanjutnya.

Jumhur secara terang-terangan tidak mengetahui alasan dibalik adanya UU P2SK. Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah sangat tidak kreatif hingga bisa menimbulkan kekhawatiran terkait dana yang dikumpulkan dari masyarakat.

“Nah baru masuk ke yang terakhir ini ada lagi soal pensiun ini, jadi emang enggak tahu idenya tuh apa, enggak kreatif gitu ngutip-ngutip dari masyarakat gitu dan yang saya khawatirkan betul, kutip dikumpulin, dikumpulin, bikin lembaga baru dan lembaga baru ini kemudian nanti bisa, moral hazard,” ungkapnya.

Melihat iuran untuk program pensiunan, Jumhur juga mengatakan bahwa hal tersebut bisa menjadi bancakan karena melihat dana yang tersimpan dan cash flow yang sempurna.

“Karena moral hazard ada duit puluhan triliun atau ratusan triliun, tenornya puluhan tahun, sudah gitu enggak diambil orang, jadi cash flow-nya pasti sempurna terus cash flow kan, nah akhirnya udah bisa jadi bancakan, orang yang baik pun bisa jadi penjahat di situ,” tegasnya.

Selain moral hazard, modus hanky panky pun juga dapat terjadi melihat bahwa masa penyimpanan dana yang akan dikelola suatu lembaga bisa mencapai masa tenor yang lama.

“Karena lu bayangin ada duit ratusan triliun disitu, ya lu suruh ngelola itu dan uang ini enggak dituntut untuk segera balik gitu ya karena dia tenornya sampai 30 tahun, bisa macam-macam di situ, hanky-panky bisa terjadi,” ucapnya.

“Jadi buat gua, mengutipnya aja salah apalagi cara pengelolaannya yang sangat serba tertutup gitu,” pungkasnya.*