Selasa, 15 Juli 2025
Menu

Hakim MK: Putusan 60 Lahir karena Pembentuk UU Tak Jalankan Putusan Sebelumnya

Redaksi
Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih memimpin jalannya konferensi pers pembentukan MKMK di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu 20/12/2023 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih memimpin jalannya konferensi pers pembentukan MKMK di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu 20/12/2023 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 lahir karena pembentuk Undang-Undang (UU) tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya.

Di samping itu, Enny juga membantah bahwa apa yang dilakukan MK mengambil alih kewenangan DPR dan Pemerintah.

Adapun, dalam putusan yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora tersebut, Mahkamah mengubah aturan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk partai politik dengan menyamakannya seperti persyaratan jalur perseorangan.

“Berkenaan dengan putusan 60/2024 itu, sesungguhnya ini adalah kaitannya dengan putusan MK yang tidak dilaksanakan oleh pembentuk Undang-Undang,” kata Enny saat menjadi pembicara ‘Constitutional Law Festival’ di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Jumat, 13/9/2024.

Juru bicara Hakim MK itu juga mengungkapkan bahwa sebelumnya telah ada putusan yang berkaitan dengan persyaratan pencalonan kepala daerah. Adapun Putusan tersebut ialah putusan MK Nomor 5/PUU-III/2005 dan putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007.

Pada putusan Nomor 5/2005, MK membatalkan penjelasan Pasal 59 Ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal ini mengatur terkait ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 15 persen kursi DPRD atau suara sah dalam Pileg DPRD.

MK berpendapat bahwa Pasal tersebut telah melampaui kewenangan dari materi muatan dalam batang tubuh UU dan menghambat proses berdemokrasi di Indonesia.

Putusan itu kembali diperkuat dalam putusan Nomor 5/2007, di mana MK mengabulkan permohonan dengan membuka ruang adanya pencalonan perseorangan.

Meskipun telah dibatalkan Mahkamah, pembentuk UU, yakni DPR dan Pemerintah, masih tetap mempertahankan ketentuan tersebut dalam UU Pilkada yang baru. Enny mengatakan, meskipun aturan ambang batas pencalonan kepala daerah pernah dianulir, Mahkamah tetap tidak bisa membatalkan sebuah ketentuan dalam UU tanpa adanya permohonan.

Pada akhirnya, Partai Buruh dan Partai Gelora mengajukan permohonan yang teregister dalam Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024. Selain itu, mereka juga membuka kembali ingatan terhadap dua putusan yang pernah diputus sebelumnya oleh Mahkamah.

“Dalam konteks ini lah kemudian MK menegaskan kembali putusan yang terkait dengan tidak boleh dikaitkan dengan suara sah partai politik peserta pemilu yang sudah melewati fase verifikasi dan memiliki suara sah, tapi tidak bisa punya kursi di DPRD karena persoalan thresholdnya dibatasi,” tuturnya.

Bantah Ambil Kewenangan Pembentuk UU

Selain itu, Enny juga membantah bahwa Mahkamah mengambil alih kewenangan pembentuk Undang-Undang. Menurutnya, latar belakang MK dalam putusan Nomor 60/2024 ialah berkaitan dengan aspek judicial restraint dan menganut pada judicial activism.

“Bukan karena ingin bertentangan dengan ketentuan yang sudah ada atau mengambil alih kewenangan yang telah diberikan. Tetapi sekali lagi, pijakannya adalah kita menginginkan pemilu kita bisa berjalan dengan demokratis dan konstitusional,” tuturnya.

Menurut Enny, hal tersebut yang menjadi harapan dari putusan tersebut. Selain itu, kata dia, hal ini juga sejalan dengan putusan yang telah dijatuhkan pada putusan MK sebelumnya.

Enny pun juga menekankan bahwa persyaratan bagi perseorangan untuk menjadi calon kepala daerah jauh lebih mudah dibandingkan persyaratan kepada partai politik. Untuk itu lah, MK dalam putusannya menegaskan bahwa persyaratan untuk mengusung kepala daerah tidak harus memiliki kursi di DPRD, melainkan hanya cukup memiliki suara sah.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi MK karena dianggap telah banyak mengerjakan urusan yang bukan kewenangannya.

Menurut Doli, salah satu contohnya mengenai pilkada. Seharusnya, kata dia, MK meninjau ulang norma di Undang-Undang tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Namun kata Doli, MK justru masuk hal-hal teknis melampaui batas kewenangannya.

“Akibatnya, putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai Undang-Undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan,” kata Doli, Kamis, 29/8.

Doli menuding MK kerap mengambil kewenangan DPR selaku pembuat Undang-Undang. Oleh sebab itu, DPR akan mengubah hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan putusan MK yang saat ini bersifat final dan mengikat.*

Laporan Syahrul Baihaqi