FORUM KEADILAN – Pengamat Politik sekaligus Direktur The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menilai, mundurnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar hanya strategi politik.
Menurut Adinda, kejutan dalam langkah politik sudah biasa terjadi di Golkar karena di dalamnya terdapat banyak faksi dengan langkah politik berbeda.
“Mundurnya Airlangga bisa dianggap strategi politik baik dia sebagai individu atau faksi yang pro dengan Airlangga di Golkar, karena kan kita tahu banyak faksi-faksi dalam tubuh Golkar,” kata Adinda kepada Forum Keadilan, Senin, 12/8/2024.
Adinda menilai bahwa langkah mengejutkan Airlangga ialah taktik dalam pengaturan politik nasional dan daerah.
Di sisi lain, Pilkada 2024 pada November mendatang akan menjadi ujian bagi Partai Golkar untuk meraih kepercayaan rakyat di daerah.
“Dengan segala kepentingan, bukan tidak mungkin pilkada kali ini akan jadi taruhan, karena pilkada serentak tanggal 27 November mendatang membuat ujian juga untuk partai Golkar dan faksi-faksinya,” kata dia.
Ketika pengamat lain menyebut mundurnya Airlangga akibat tekanan dan upaya untuk ‘membonsai’ partai beringin tersebut, Adinda berkata sebaliknya.
Adinda meyakini bahwa sebagai partai besar, Golkar telah menyiapkan langkah taktis untuk selalu mendapat sorotan. Mundurnya Airlangga bisa dianggap sebagai ajang untuk menunjukkan eksistensi dirinya dan Partai Golkar.
“Bukan tidak mungkin juga mundurnya Airlangga, dia bisa menunjukan eksistensinya untuk dipilih lagi nih di pemerintahan selanjutnya, yaitu Prabowo (Subianto)-Gibran (Rakabuming Raka), atau suara Golkar di daerah,” kata Adinda.
Kemunculan e-poster Gibran yang dipromosikan sebagai Ketum Golkar, menurut Adinda, hanya langkah politik dari salah satu faksi di Golkar.
Adinda mengetahui bahwa Golkar adalah salah satu partai besar pendukung Gibran di Pilpres 2024. Sehingga, lanjut dia, tidak menutup kemungkinan bahwa Golkar sedang memainkan orkestrasi politik untuk melambungkan namanya kembali.
“Kita juga tahu muncul e-poster Gibran for Partai Golkar, jika kita lihat jejak Golkar yang kemarin mendukung Gibran di pilpres, bukan tidak mungkin ini adalah strategi partai Golkar,” ucap dia.
“Jadi taruhannya bukan hanya pilkada tetapi juga pemerintahan ke depan, di mana Golkar mengincar posisi-posisi strategis di Koalisi Indonesia Maju,” sambung Adinda.
Adinda mengatakan bahwa hal serupa pernah terjadi pada Jusuf Kalla (JK), yang mana saat itu JK sebagai anggota partai memilih jalan lain dengan mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pilpres 2024.
“Kita ingat dulu Jusuf Kalla yang tidak didukung Partai Golkar saat Pilpres 2004, namun justru ia malah melambung menjadi Wapres (Wakil Presiden) berpasangan dengan Presiden SBY, mungkin taktik itu diulang kembali,” pungkasnya.*
Laporan Reynaldi Adi Surya