Hakim MK Tegaskan Aturan Syarat Usia Kepala Daerah Bukan Wewenang Pengadilan, tapi DPR-Presiden

Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Hakim Konstitusi Arief Hidayat menegaskan bahwa perubahan aturan syarat usia kepala daerah merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang (UU), yakni Presiden dan DPR, bukan badan peradilan.

Pernyataan itu Arief sampaikan dalam sesi pemberian nasihat pada sidang perkara Nomor 88, 89 dan 90/PUU-XXII/2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin, 29/7/2024.

Bacaan Lainnya

Menurut Arief, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945, tidak ada aturan secara eksplisit yang mengatur soal syarat usia kepala daerah. Ia lantas mempertanyakan, jika dalam Konstitusi tidak ada aturan syarat usia, siapa yang berhak menentukan.

“Dalam ilmu hukum, kalau di konstitusi tidak ada yang secara eksplisit ditentukan maka itu kewenangan siapa. Sekali lagi, saya bilang menurut saya itu bukan kewenangan badan peradilan tapi kewenangan pembentuk Undang-Undang,” kata Arief, Senin.

Arief tidak mempersoalkan para Pemohon yang menilai bahwa aturan syarat usia kepala daerah bertentangan dengan UUD 1945, namun, ia menyebut bahwa batu uji yang didalilkan Pemohon tidak memiliki kaitan dengan penghitungan syarat usia calon kepala daerah.

Arief juga kembali menegaskan bahwa aturan syarat usia calon kepala daerah merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy, di mana hanya pembentuk Undang-Undang yang bisa menentukan.

Selain itu, Arief juga mengatakan bahwa Mahkamah telah menegaskan bahwa aturan syarat usia menjadi ranah dari pembentuk Undang-Undang sebagaimana dalam putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang merupakan perbaikan dari putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Kalau badan peradilan menafsirkan, badan peradilan bisa keliru. Mau digeser ke mana saja boleh, terserah pembentuk UU, Presiden dan DPR,” kata Arief.

Adapun tiga perkara tersebut menguji Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yang mengatur batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur 30 tahun serta calon bupati/wali kota dan wakilnya 25 tahun.

 

Dalam permohonan perkara Nomor 88/PUU-XXII/2024 di mana Pemohon meminta agar usia minimal calon kepala daerah ditetapkan sejak pendaftaran calon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Permohonan ini diajukan oleh Sigit Nugroho Sudibiyanto yang memiliki afiliasi dengan kantor Boyamin Saiman, ayah Almas Tsaqibbiru.

Sementara perkara Nomor 89/PUU-XXII/2023 meminta agar usia minimal calon kepala daerah diminta ditetapkan sejak penetapan pasangan calon oleh KPU. Permohonan ini diajukan oleh Arkaan Wahyu Re a, adik Almas Tsaqibbiru yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden melalui putusan Nomor 90/2023.

Sedangkan, Pemohon perkara 90/2024, meminta agar usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak pelaksanaan pemungutan suara. Permohonan ini diajukan oleh 7 Pemohon, yaitu Syukur Destieli Gulo, Prabu Sutisna, Syafi’i Al Ma’ruf, Noverianus Samosir, Christian Adrianus Sihite, Rd. Ilham Maulana, dan Bunga Cantika.

Untuk diketahui, banyaknya pengujian pasal terkait usia kepala daerah pada Pilkada 2024 tidak bisa dilepaskan dari putusan problematik putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23P/HUM/2023.

Dalam putusannya, MA meminta agar KPU menetapkan penghitungan usia pasangan calon ditetapkan sejak pasangan calon dilantik sebagai kepala daerah.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait