Masih Marak Praktik TPPO, DFW Sebut Indonesia Tak Pantas Berada di Tier 2

Ilustrasi perdagangan orang
Ilustrasi perdagangan orang | ist

FORUM KEADILAN – Departemen Luar Negeri Pemerintah Amerika Serikat kembali menempatkan Indonesia di posisi tier 2 dalam laporan tahunan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dirilis pada Juli 2024.

Adapun dalam penilaiannya, pemerintah Amerika mengelompokkan menjadi tiga bagian atau tier dari tiap-tiap negara dalam hal trafficking victims protection act (TVPA). Indonesia menempati posisi tier 2 karena tidak memenuhi standar minimum perdagangan orang tapi sudah melakukan upaya pemberantasan TPPO.

Bacaan Lainnya

Menanggapi hal itu, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menilai bahwa Indonesia tidak pantas menempati posisi tier 2. Sebab, di Indonesia dianggap masih marak terjadi praktik TPPO.

“Melihat posisi ini, kami memandang Indonesia sebetulnya tidak pantas untuk menduduki tier 2 khususnya mengingat pada April 2024 lalu national fisher center, sebuah kanal pengaduan awak kapal perikanan dan pekerja perikanan pada umumnya menerima aduan dari AKP (awak kapal perikanan) yang melarikan ke Kepulauan Aru,” kata Human Rights Manager DFW Indonesia Miftachul Choir dalam konferensi pers yang dilakukan secara daring, Rabu, 17/7/2024.

Laporan tersebut, menurut Miftachul, AKP itu memberitahukan bahwa telah terjadi dugaan praktik TPPO yang melibatkan kapal ikan asal Indonesia, KM Mitra Utama Semesta (KM MUS), dan kapal ikan asing berbendera Rusia, KM Run Zeng 03.

Alhasil, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Dirjen Pemantauan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berhasil menangkap kedua kapal tersebut atas dugaan terlibat dalam Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF).

Tidak hanya itu, Miftachul juga mengungkapkan bahwa dalam catatan lembaganya, setidaknya sudah ada enam aduan yang terindikasi TPPO sejak Juni hingga Juli 2024.

“Kasus ini membuka tabir kegagalan pemerintah Indonesia dalam mencegah, menangani, dan menindaklanjuti dugaan TPPO di sektor perikanan serta pengentasan TPPO tidak hanya membenahi tata kelola AKP migran, melainkan juga membenahi tata kelola AKP domestik sebagaimana diatur dalam Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor 33 tahun 2021,” ujarnya.

Alasan lain yang membuat Indonesia tidak pantas menduduki tier 2, karena masih terdapat enam permasalahan yang mesti dilakukan oleh pemerintah Indonesia, salah satunya lemahnya penegakan hukum dan pengawasan di laut.

Menurut Miftachul, adanya laporan dari APK tersebut menandakan pemerintah Indonesia masih lemah dalam penegakan hukum dan pengawasan di laut. Sebab, kata dia, APK itu tidak mengetahui bahwa dirinya akan dipekerjakan di kapal perikanan asing.

“Berbeda dengan kasus-kasus TPPO pada umumnya, yang mana AKP secara prosedural telah mendaftarkan diri di perusahaan perekrutan untuk kemudian dipekerjakan di kapal asing. Para korban terpaksa menjadi pekerja migran tidak prosedural ketika dipindah secara paksa ke KM Run Zeng 03 dan 05 ditengah Laut Arafura,” terangnya.

Seharusnya, kata Miftachul, dugaan praktik TPPO itu tidak terjadi apabila pemerintah melalui Syahbandar Perikanan selaku otoritas yang ditugas untuk mengesahkan dan memeriksa administrasi dan keselamatan pelayaran, termasuk di antaranya Perjanjian Kerja Laut (PKL) menjalankan tugasnya dengan baik.

“Fenomena ini menunjukan lemahnya pengawasan laut Indonesia sehingga kapal-kapal ikan asing dapat bergerak bebas, mencuri sumber daya perikanan Indonesia dan menggunakan tenaga kerja perikanan yang diupah murah. Padahal, sudah ada tujuh otoritas yang bertugas mengawasi lautan Indonesia,” pungkasnya.*

Laporan M. Hafid

Pos terkait