Putusan MK Akhiri Polemik Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu

Hakim Konstitusi Saldi Isra | Ist
Hakim Konstitusi Saldi Isra | Ist

FORUM KEADILAN – Perkara pengabaian keterwakilan perempuan dalam pemilu telah diputus Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan ini dinilai mengakhir polemik atas pelanggengan pengaturan yang dilakukan KPU dalam menerjemahkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam pemilu legislatif (pileg).

Awalnya, permohonan tersebut diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada daerah pemilihan Gorontalo VI Provinsi Gorontalo dan teregister dengan Nomor 125-01-08-29/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024.

Bacaan Lainnya

Kemudian dalam amar putusannya, Mahkamah memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pemungutan suara ulang pada Daerah Pemilihan (Dapil) Gorontalo 6 untuk pengisian anggota DPRD Provinsi Gorontalo.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan hasil perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD Provinsi Gorontalo sepanjang Dapil Gorontalo 6 harus dilakukan pemungutan suara ulang,” ucap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis, 6/6/2024.

Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pertimbangannya mengatakan, kuota 30 persen harus dipahami sebagai bentuk menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi legislator di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota agar menjamin dan memberi peluang keterpilihan lebih besar kepada perempuan dalam suatu pemilu.

Hal tersebut juga bertujuan untuk membuka peluang kepada perempuan agar dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara secara adil dan seimbang.

Mahkamah juga menyatakan bahwa dengan bertambahnya jumlah anggota legislatif perempuan diharapkan mampu mewakili kepentingan kaum perempuan yang tidak selalu bisa diwakili oleh anggota legislatif laki-laki. Selain itu, kata Saldi, keterwakilan perempuan sebagai calon pemilu legislatif harus diperkuat sebagai amanah konstitusi.

Di samping itu, MK juga menilai bahwa KPU secara sengaja telah mengabaikan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 24 P/HUM/2023 terkait kuota perempuan dalam pemilu. Padahal, kata Saldi, putusan pengadilan harus dipatuhi dan dilaksanakan sebagai salah satu perwujudan negara hukum.

Akibatnya, keterwakilan perempuan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) di DPRD Provinsi Gorontalo Dapil Gorontalo 6 tidak terpenuhi dan menyebabkan beberapa jajaran KPU di tingkat bawah tetap menetapkan DCT anggota DPRD sekalipun terdapat sejumlah partai politik yang tidak memenuhi kuota keterwakilan perempuan 30 persen.

“Menurut Mahkamah, tindakan tersebut tidak sejalan dengan ‘politik hukum’ menuju kesetaraan dan keadilan gender dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen,” katanya.

 

Perbaikan Pemilu ke Depan

Mahkamah tegas menyatakan Keputusan KPU Provinsi Gorontalo Nomor 83 Tahun 2023 tentang DCT DPRD Provinsi Gorontalo dalam Pemilu 2024 menjadi tidak dapat diberlakukan dan harus dinyatakan tidak sah, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang menyangkut DCT Anggota DPRD Provinsi Gorontalo Dapil Gorontalo 6.

Meski begitu, MK tidak mengabulkan permohonan pemohon dalam petitumnya terkait dengan perolehan suara pada dapil tersebut.

Dalam permohonannya, PKS meminta agar keempat partai yang tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan didiskualifikasi dalam pemilu. Keempat partai tersebut ialah PKB, Gerindra, NasDem, dan Demokrat. Keempat partai tersebut hanya memenuhi 27.27 persen keterwakilan perempuan.

Untuk memenuhi kepastian hukum yang adil, MK memerintahkan KPU untuk melakukan pemungutan suara ulang pada pemilihan calon anggota DPRD Provinsi Gorontalo Dapil Gorontalo 6.

Pemungutan suara ulang tersebut harus terlebih dulu memberikan kesempatan pada partai politik yang belum memenuhi kuota perempuan minimal 30 persen untuk memperbaiki daftar calonnya sehingga memenuhi aturan kuota yang telah ditetapkan.

“Dalam hal partai politik tidak mampu memenuhi syarat minimal tersebut, maka KPU Provinsi Gorontalo mencoret kepesertaan partai politik tersebut dalam pemilihan calon anggota DPRD Provinsi,” tutur Saldi.

Pemungutan suara ulang tersebut harus dilaksanakan KPU dalam waktu paling lama 45 hari sejak putusan Mahkamah dibacakan dalam sidang pleno. Mahkamah menilai bahwa jangka waktu 45 hari cukup bagi KPU untuk melaksanakan putusan, apalagi, dapil tersebut hanya terdiri dari 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwat.

Selain itu, MK menilai bahwa jangka waktu 45 hari tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan putusan Mahkamah tidak mengganggu jadwal pelantikan anggota DPRD Provinsi Gorontalo hasil Pemilu 2024 dan agenda ketatanegaraan lainnya yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota secara serentak tahun 2024 yang jadwal pemungutan suaranya akan dilaksanakan pada bulan November 2024

“Ke depan, untuk pemilu-pemilu berikutnya, bagi dapil yang tidak memenuhi syarat minimal 30 persen calon perempuan, KPU memerintahkan kepada partai politik peserta pemilu untuk memperbaiki daftar calon. Jika tetap tidak terpenuhi, KPU harus mencoret kepesertaan partai politik tersebut dalam pemilu pada dapil yang bersangkutan,” pungkas Saldi.

 

Afirmasi Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu

Pakar Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menyambut gembira putusan MK soal kuota keterwakilan perempuan. Menurutnya, putusan tersebut telah menegaskan hak konstitusionalitas perempuan politik atas afirmasi keterwakilan perempuan dalam pencalonan pemilu DPR dan DPRD.

“Putusan MK ini mengakhiri polemik akibat pelanggaran pengaturan yang dilakukan KPU dalam menerjemahkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di daftar calon pemilu DPR dan DPRD,” ucap Titi saat dihubungi, Kamis, 6/6.

Selain itu, putusan MK telah mengembalikan kebijakan keterwakilan perempuan sesuai dengan jalur konstitusi paska didistorsi oleh lembaga penyelenggara pemilu. Ia menyayangkan sikap KPU yang tidak mengoreksi kebijakan ini.

Menurutnya, apabila sejak awal KPU mau mendengar suara publik dan konsisten memperbaiki diri setelah disanksi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), kejadian seperti ini tidak mungkin terjadi.

“Namun, karena itu tidak dilakukan akhirnya ada banyak dapil yang tidak sesuai dari sisi jumlah keterwakilan perempuan akan tetapi tidak bisa dilakukan koreksi karena perkaranya tidak sampai PHPU (perselisihan hasil sengketa pemilu) di MK,” tuturnya.

Ia mencontohkan, dalam daftar caleg DPR terdapat sebanyak 267 daftar caleg yang diajukan 17 partai yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat dikoreksi karena perkara tersebut tidak terdaftar dalam sengketa PHPU Pileg.

Ia berharap setelah lahirnya putusan MK tidak ada lagi pelemahan dan pembangkangan institusi negara atas kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan karena hal tersebut bisa dicegah sejak awal jikalau semua pihak konsisten menegakkan aturan kuota keterwakilan perempuan.

“Kedepan jangan lagi ada kejadian serupa yang berdampak kerugian hak politik perempuan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara seperti saat ini,” tutupnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait