FORUM KEADILAN – Perebutan kursi calon anggota legislatif (caleg) dari partai politik yang sama diprediksi akan mewarnai sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Munculnya sengketa internal partai terjadi karena ketatnya persaingan yang ada dalam partai.
Pada 2019, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, terdapat 94 total perkara yang merupakan sengketa internal partai.
Jumlah sengketa internal partai tertinggi diajukan Partai Gerindra sebanyak 32 perkara. Kemudian Golkar sebanyak 22 perkara, Partai Demokrat sebanyak 13 perkara, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 12 perkara.
Sampai Sabtu, 23/3/2024 dini hari, MK telah menerima permohonan gugatan PHPU sebanyak 14 perkara. Satu perkara didaftarkan oleh calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, sedangkan 11 permohonan lainnya ialah perkara yang diajukan oleh DPR dan DPRD. Adapun dua perkara lainnya merupakan sengketa DPD.
Juru Bicara MK Fajar Laksono menyebut, di hari kedua tidak terlalu banyak laporan yang diterima. Namun pada hari ketiga, diperkirakan akan banyak perkara yang masuk menjelang batas akhir pengajuan permohonan.
“Tapi memang trennya itu hari ketiga. Hari ketiga di detik-detik terakhir, beberapa jam menjelang batas akhir pengajuan permohonan,” ucap Fajar kepada wartawan, Jumat, 22/3.
Untuk diketahui, waktu pengajuan permohonan PHPU Pileg dimulai sejak Rabu, 20/3 pukul 22.19 WIB. Sedangkan batas waktu pengajuan permohonan PHPU Pileg 2024 adalah 3 x 24 jam, yakni Sabtu, 23/3 pukul 22.19 WIB.
Salah satu sengketa internal partai yang telah terdaftar gugatannya ke MK ialah caleg DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN) dapil Jawa Timur (Jatim) I Sungkono. Sungkono merupakan anggota DPR petahana yang melaporkan salah satu rekan partainya terkait dugaan pencurian dan penggelembungan suara.
Kuasa Hukum pemohon Mursyid Murdiantoro menerangkan bahwa kliennya menggugat Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum atas Penetapan Hasil Pilpres dan Pileg 2024.
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU, Sungkono yang mendapat nomor urut 1 di dapil Jatim I memperoleh suara sebanyak 66.020 suara. Namun, suara yang ia peroleh tertinggal dari Arizal Tom Liwafa yang mendapat sebanyak 69.195. Dengan begitu, terdapat total selisih 3.175 suara.
Namun, Mursyid mengatakan bahwa data yang dimilikinya berbanding terbalik dengan hasil rekapitulasi nasional KPU. Ia menyebut bahwa kliennya seharusnya mendapat 66.347 suara, sedangkan Arizal hanya memperoleh sebanyak 65.509 suara.
“Kami memiliki data dari C1 solid banget, bahkan tabulasi kami sangat rigid untuk menentukan TPS-TPS mana. Ini sistematis, 19 Kecamatan. Jadi ada suara partai diturunkan ke dia, ada caleg lain dinaikan ke dia. Suara Sungkono dicuri,” ucap Mursyid di Gedung MK, Jakarta, Jumat, 22/3.
Mursyid berharap, Mahkamah akan mengabulkan gugatan kliennya karena hal ini akan mengubah hasil yang telah ditetapkan lembaga penyelenggara pemilu.
Berakhir ke Mahkamah Partai?
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta memprediksi, akan banyak kasus internal partai yang akan dibawa ke MK. Ia membandingkan dengan tahun 2019 di mana hampir 80 persen merupakan kasus internal partai.
“Kenapa lebih banyak? Karena memang tidak terselesaikan di tingkat rekapitulasi kabupaten dan provinsi, baik yang DPR RI dan DPRD,” ucapnya saat dihubungi, Jumat, 22/3.
Meski begitu, Kaka menilai, tidak semua gugatan tersebut akan berlanjut ke persidangan ataupun dikabulkan. Ia mengira bahwa gugatan tersebut akan kembali ke Mahkamah Partai masing-masing.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah disebutkan bahwa legal standing peserta pemilu ialah partai politik, capres dan cawapres dan perorangan dari DPD. Oleh karena itu, legal standing caleg DPR dan DPRD adalah partai politik.
Hal tersebut juga tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam PHPU Anggota DPR dan DPRD. Dalam Pasal 3 (1) disebutkan bahwa pengajuan permohonan oleh perseorangan yang diajukan secara terpisah dari partai politik harus mendapat persetujuan dari Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.
Adapun Mahkamah Partai telah diatur dalam UU 2/2011 tentang Partai Politik di mana penyelesaian perselisihan internal partai dilakukan oleh Mahkamah Partai dengan jangka waktu paling lambat 60 hari. Putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat.
“Melihat dari perkembangannya, ini akan berpotensi dikembalikan ke Mahkamah Partai cukup besar,” ucap Kaka.
Kaka pesimis jika perselisihan antar caleg satu partai di bawa ke mahkamah internal partai karena berpotensi tidak terselesaikan. Apalagi, tidak adanya transparansi menyebabkan terjadinya kecenderungan di mana Mahkamah akan memutus secara tidak adil.
“Kalau MK mau membangun kembali kepercayaan publik, maka buka ruang untuk mengadili dan memutus sengketa internal partai,” katanya.*
Laporan Syahrul Baihaqi