Musabab Kemenangan PDIP dan Kekalahan Ganjar-Mahfud di Jawa Tengah dan Bali

FORUM KEADILAN – Jawa Tengah dan Bali merupakan dua wilayah penyumbang suara terbesar untuk PDIP di Pileg 2024. Namun, perolehan itu berbanding terbalik dengan suara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengesahkan hasil rekapitulasi nasional Provinsi Jawa Tengah yang di Gedung KPU, Jakarta, Senin, 11/3/2024. Berdasarkan hasil yang telah di sahkan, Partai Banteng tersebut memperoleh suara partai terbanyak dengan 5,191,487 suara. Dari 10 Dapil yang ada, PDI-P hanya kalah di dua dapil saja yaitu di Dapil II dan X.
Sementara di Bali, PDIP mendominasi pileg dengan mendapat 1,290,884 suara. Angka ini menempatkan PDIP sebagai partai penguasa di Bali. Adapun total keseluruhan suara di Provinsi Bali 2.728.900, dengan rincian suara sah 2.460.686 dan suara tidak sah 268.214.
Di sisi lain, perolehan suara Ganjar-Mahfud cenderung melempem di dua markas banteng tersebut. Di Jawa Tengah, Ganjar-Mahfud hanya memperoleh sebanyak 7,827,335 suara, kalah dari pesaingnya Prabowo Subianto‐Gibran Rakabuming Raka yang mendapat 12,096,454 suara.
Sedangkan untuk hasil pilpres di Bali, Prabowo-Gibran menang dengan memperoleh sebanyak 1,456,640 suara. Sementara Ganjar-Mahfud mendapat sebanyak 1,127,134 suara.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin berpandangan, ada dua faktor yang menjadi penyebab kekalahan Ganjar-Mahfud di Jawa Tengah dan Bali, yang selama ini merupakan markas PDIP.
Pertama, kata Ujang, para pemilih di dua daerah itu memiliki ikatan kepartaian yang mengakar ke PDIP, namun tidak ke pasangan yang diusung. Sehingga, terdapat pemisahan dukungan, di mana para pemilih cenderung mencoblos Prabowo-Gibran.
“Jadi ikatan pemilih PDIP cukup kuat. Maka, memilih partai lebih prioritas dan dominan daripada capres yang diusung,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Selasa 12/3/2024.
Kemudian, Ujang melihat bahwa selama masa kampanye pemilu berlangsung, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selalu menyapu bersih jejak kampanye yang dilakukan oleh Ganjar. Alhasil, Ganjar tidak meraih suara sempurna di dua basis massa PDIP.
“Jokowi saat masa kampanye selalu membuntuti Ganjar kemanapun dia pergi. Itu Jokowi bersih-bersih apa yang dilakukan Ganjar,” lanjutnya.
Seperti diketahui, pada dua pilpres sebelumnya, Joko Widodo yang saat itu diusung oleh PDIP mendominasi perolehan suara di Jawa Tengah dan Bali.
Pada pilpres 2019, Jokowi-Ma’ruf unggul di Jawa Tengah dengan memperoleh 16.825.511 suara atau 77,29 persen suara sah. Sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meraih 4.944.447 suara atau 22,71 persen dari total suara sah.
Sedangkan di Bali, Jokowi-Ma’ruf mendapat sebanyak 2.351.057 suara atau setara dengan 92 persen. Sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat 213.415 suara.
Ketika ditanyai soal hasil pilpres di dua pemilu sebelumnya, di mana Jokowi yang diusung oleh PDIP mendapatkan suara yang tinggi, Ujang menilai bahwa kasus tersebut tidak dijadikan acuan di Pilpres 2024.
Ujang memaparkan, saat itu Jokowi masih berada di kubu Banteng. Sedangkan pada saat ini, Jokowi memilih berada pada kubu berbeda dengan PDIP, yaitu kubu Prabowo-Gibran.
“Alhasil, yang memilih Ganjar-Mahfud beralih dukungan ke Prabowo-Gibran,” terangnya.
Dihubungi terpisah, Pengamat Politik dari Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan, perbedaan suara antara capres dan partai politik pengusung merupakan hal biasa. Menurutnya, tidak ada korelasi pemilih antara capres dengan partai.
Dedi menilai bahwa Ganjar gagal untuk mengkonsolidasikan suara partai menjadi suara capres. Bahkan dalam catatan IPO, tidak lebih dari setengah pemilih partai yang akan memilih mantan Gubernur Jawa Tengah itu. Meski begitu, ia memandang kekalahan Ganjar di Jawa Tengah dan Bali merupakan anomali dan tidak hanya berdasarkan faktor Jokowi semata.
“Melihat situasi penghitungan yang ada di KPU saat ini, kita kesulitan menerjemahkan kekalahan Ganjar sebagai kekalahan murni,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Selasa, 12/3.
Dominasi Pileg
Berdasarkan hasil rekapitulasi nasional Provinsi Jawa Tengah yang telah disahkan oleh KPU, Partai PDIP memperoleh suara partai terbanyak dengan 5,191,487 suara. Dari 10 dapil yang ada, PDIP hanya kalah di dua dapil saja, yaitu di Dapil II dan X.
Putri Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani mendapat sebanyak 297,366 suara. Hal ini membuatnya menduduki peringkat suara tertinggi di Dapil Jawa Tengah V (Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Kota Surakarta). Akan tetapi, perolehan suara Puan menurun jika dibandingkan dengan Pileg 2019.
Pada pemilihan sebelumnya, Puan memperoleh sebanyak 404,034 suara, sedangkan pada pemilu 2014, ia mendapatkan 326,927, dan pada 2009 ia mendapat 242,504 suara. Selama 3 pemilu sebelumnya, tren suara yang dimiliki Puan selalu meningkat, dan baru pada pemilu ini suara Puan Maharani turun.
Meski begitu, suara yang dimiliki Puan merupakan suara tertinggi di antara 10 caleg dengan peraih suara terbanyak. Suaranya disusul oleh politisi yang juga masih dari PDIP, yaitu Mochammad Herviano dari Dapil Jawa Tengah I dengan 230.113 suara.
Sementara di urutan ketiga, diisi oleh politisi Partai Golkar Nusron Wahid di Dapil Jawa Tengah II yang mendapatkan 204.48 suara.
Kemudian, ada Shanty Alda Natalia dengan jumlah 196.355 suara (PDIP Dapil IX), Ashraff Abu dengan 177.436 suara (Golkar Jateng X), Sudjadi dengan 169.106 suara (PDIP Dapil VI), Novita Wijayanti dengan 163.920 suara (Gerindra Jateng VIII), Doni Akbar dengan 154.476 suara (Golkar Dapil X), dan Adik Sasongko dengan 142.405 suara (Gerindra Dapil V), Serta Haryanto dengan 135.08 suara (PDIP Dapil III).
Sedangkan pada hasil Pileg di Bali, suara PDIP terbesar disumbangkan oleh caleg DPR RI nomor urut 5, I Nyoman Parta, dengan 281.688 suara. Setelah itu, caleg nomor urut 1, I G Ngurah Kesuma Kelakan dengan perolehan 281.539 suara, dan juga caleg nomor urut 2, I Wayan Sudirta, menyumbang 169.776 suara.*
Laporan Syahrul Baihaqi