Menerka Wajah Jakarta sebagai Pusat Bisnis Global

FORUM KEADILAN – Jakarta tak lama lagi akan beralih status menjadi pusat bisnis dan perekonomian global. Tetapi, wajah salah satu kota tersibuk di Indonesia ini diperkirakan tak akan banyak mengalami perubahan.
Kota Jakarta yang berdiri sejak 22 Juni 1527 lalu, kehilangan statusnya sebagai Ibu Kota sejak 15 Februari 2024. Seiring pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), gelar Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta berganti menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Jakarta digadang-gadang bakal menjadi pusat bisnis dan perekonomian dunia. Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PKS Muhammad Taufik Zulkifli menggambarkan, sebagai pusat bisnis global Jakarta akan menjadi daerah yang setara dengan kota-kota maju di dunia.
Secara ekonomi, Jakarta akan menjadi tempat alternatif untuk konferensi atau tempat pertemuan bagi forum-forum dunia.
“Jadi, Jakarta harus bisa menyediakan fasilitas, misalnya ruangan pertemuan, kemudian tranportasinya, konsumsi atau makanannya, dan juga keamanannya untuk berkonferensi di Jakarta,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Kamis 7/3/2024.
Taufik membayangkan, betapa bagusnya apabila Jakarta bisa dipilih menjadi kantor-kantor cabang dari institusi atau perusahaan-perusahaan global.
“Tetapi tentunya, perizinannya harus dipermudah. Kemudian, masyarakatnya harus lebih bisa melayani seperti warga Bali. Kalau saya lihat warga Bali sudah seperti itu. Mereka bisa melayani wisatawan, dan yang paling besar pemasukan Bali itu kan dari wisatawan,” katanya.
Dari sini, lanjut Taufik, akan banyak orang datang ke Jakarta, dan akhirnya bisa membenahi kembali tempat-tempat pariwisatanya.
“Misalnya Pulau Seribu. Kalau ditata dengan baik, bisa dia menyaingi Maldives atau Maladewa,” ungkapnya.
Namun Taufik juga menekankan, untuk mewujudkan hal itu, akses ke Jakarta harus di permudah. Untuk itu, penggunaan transportasi publik di Jakarta diperbanyak, dipermudah, dan dipernyaman.
Kemudian, tren dari kota-kota modern di seluruh dunia adalah ramah lingkungan. Jadi, kata Taufik, Jakarta harus mengurangi polusi kendaraan dan melakukan penghijauan.
“Polusi di Jakarta ini 80 persen bersumber dari sumber bergerak, yaitu kendaraan bermotor. Jadi, kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) harus diganti dengan listrik. Untuk sekarang masih mahal, maka nanti dicari cara untuk berpindah dari BBM ke listrik,” ungkapnya.
Politisi PKS ini mengklaim, pembenahan masalah transportasi di Jakarta ini sebenarnya sudah dimulai di zaman Gubernur Anies Baswedan.
“Sebenarnya di zaman Gubernur Anies Baswedan sudah seperti itu. Bagaimana Transjakarta dengan JakLinko, LRT dan MRT berintegrasi, bahkan dengan jalur sepeda. Itu adalah ciri kota modern yang bisa menjadi kota global,” turutnya.
Tak Banyak Perubahan di Tata Kota
Berbeda dengan apa yang digambar Taufik, Pengamat Tata Kota dari Universitas Tarumanegara Suryono Herlambang mengatakan bahwa tidak ada yang spesial dalam perubahan status Jakarta. Meski akan menjadi pusat bisnis global, wajah tata kota Jakarta tidak akan berubah secara signifikan.
Suryono menjelaskan, sejauh ini pembangunan Jakarta memang mengarah ke kota global. Ia juga mengakui bahwa transportasi di Jakarta sudah membaik.
Namun, Jakarta punya segudang masalah. Mulai dari kemacetan, pemukiman kumuh, dan sungai yang kotor. Berpindahnya Ibu Kota dari Jakarta, menurut Suryono, tidak begitu saja menghilangkan pesoalan tersebut.
Suryono menjelaskan, problematika jumlah pergerakan kendaraan se-Jabodetabek dalam satu waktu mencapai 30 juta kendaraan. Jika pusat pemerintahan dipindahkan ke IKN, maka volume kendaraan paling hanya akan berkurang 1-2 juta saja.
“Kemacetan tidak akan terlalu berpengaruh dalam jangka pendek. Tidak ada yang signifikan karena selama ekonomi masih berpusat di Jawa terutama di poros Trans Jawa, maka semua distrik industri baru akan berkembang. Jakarta akan tetap eksis,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Kamis 7/3.
Lalu, untuk pemukiman kumuh, menurut Suryono akan tetap memiliki sudut sendiri. Sebab, pusat ekonomi global atau Central Business District (CBD) di Jakarta, tentunya tidak akan meletakan kakinya di pemukiman.
“Mengenai CBD, bukan di jalan yang ada kampungnya, karena biasanya mereka akan mengisolasi dirinya terkait dengan keamanan,” imbuhnya.
Soal kotornya sungai di Jakarta, menurut Suryono tetap harus dikerjakan dan diperbaiki oleh pemerintah selanjutnya. Ia sendiri berpandangan bahwa, sungai yang kotor merupakan problem generik kota-kota di Indonesia.
Paling yang sedikit berubah hanyalah kehidupan di Jakarta. Kata dia, kehidupan di Jakarta mungkin akan sedikit lebih soft, karena pusat pemerintahan dipindahkan ke IKN.
“Kehidupan kotanya nanti mungkin akan lebih soft. Sudah tidak banyak demo karena kepentingannya politiknya berkurang. Kan sudah dipindahkan ke IKN, DPR sudah enggak ada lagi di sini,” paparnya.
Sedikit Perubahan Sosial
Begitu juga dari segi sosial. Sosiolog dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta Nia Elvina mengatakan, pemindahan Ibu Kota tidak terlalu banyak memberi perubahan dalam segi sosial. Ia mengatakan, persoalan-persoalan yang selama ini terjadi di Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, dan tingginya tingkat kriminalitas akan tetap ada selama akar masalahnya tak diselesaikan.
“Saya kira untuk masalah klasik di Jakarta, dengan misalnya tidak menjadi Ibu Kota lagi, tidak akan berkurang, jika permasalahan mendasarnya tidak dibenahi atau dikeluarkan kebijakan yang tepat,” terangnya.
Masalah klasik di Jakarta itu sudah berlangsung lama. Jakarta sendiri sudah berkali-kali berganti pemimpin, tetapi persoalan yang sama masih tetap ada. Apabila memang ingin memperbaikinya, kata Nia, pemerintah harus melakukan kajian secara mendalam.
Sosiolog dan mantan Rektor Universitas Ibnu Chaldun Prof Musni Umar juga sependapat. Bahkan kata dia, akan lebih banyak dampak negatif jika Ibu Kota dipindahkan.
Musni menjelaskan, setidaknya ada enam dampak negatif dari pemindahan tersebut. Pertama, besarnya dana pemindahan yang mencapai Rp500 triliun tidak berdampak besar terhadap pemerataan dan keadilan sosial.
“Kedua, berbagai gedung pemerintahan di Jakarta seperti gedung DPR/MPR, Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mabes TNI, gedung berbagai kementerian dan lain-lain akan menjadi museum yang pasti tidak terdayagunakan, padahal dibangun dengan dana yang sangat besar,” ujarnya Musni kepada Forum Keadilan, Kamis 7/3.
Seperti yang dikatakan Musni, memang kekosongan gedung-gedung pemerintahan nantinya akan menjadi persoalan tersendiri. Terkait hal ini, anggota DPRD DKI Jakarta, Taufik mengatakan, akan ada di rancangan undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta terkait persoalan itu. Gedung yang kosong nantinya bisa dimanfaatkan sebagai tempat yang dibutuhkan untuk Jakarta.
“Bisa dijadikan pusat-pusat kreatif. Jadi ada pembuatan UMKM segala macam. Karena Jakarta mau menjadi kota global, mungkin bisa dibuat menjadi tempat-tempat pertemuan. Salah satunya menjadi tempat meeting,” ungkap Taufik.
Ketiga, lanjut Musni, pemindahan Ibu Kota itu juga berdampak kurang baik kepada gedung-gedung swasta dan hotel di Jakarta. Pasalnya, para pejabat dari berbagai daerah sudah tidak memiliki urusan untuk datang ke Jakarta. Akibatnya, tingkat hunian akan berkurang secara signifikan.
“Keempat, kantor kedutaan besar negara-negara sahabat serta berbagai kantor perwakilan dari berbagai provinsi dan kabupaten di Indonesia, cepat atau lambat akan pindah ke IKN. Pertanyaannya, berbagai kantor perwakilan tersebut mau diapakan?” ucapnya.
Dampak negatif kelima menurut Musni, perputaran ekonomi di Jakarta akan berkurang, karena belanja pegawai di berbagai kantor kementerian akan hilang. Akibatnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga berkurang.
“Keenam, biaya pindah pegawai dari berbagai kementerian sangat besar dan tidak mungkin ditanggung oleh para pegawai. Selain itu, keluarga para pegawai seperti putra-putri mereka yang sedang bersekolah akan menjadi persoalan, sebab tidak mungkin diboyong ke IKN,” terangnya.
Musni menegaskan, memang perpindahan Ibu Kota tidak hanya memiliki dampak negatif, tetapi juga dampak positif. Namun, manfaatnya tidak besar.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengatakan, alasan memindahkan Ibu Kota Negara ke luar Jawa ialah untuk meningkatkan distribusi pelayanan publik dan mengurangi tingkat kemacetan serta kepadatan di Jakarta dan Pulau Jawa.
Alasan berikutnya yaitu, untuk mendukung pemerataan pembangunan di Indonesia dan meningkatkan kehadiran pemerintah dan peran pemerintah di daerah.
Menurut Musni, semua alasan Jokowi tersebut bisa terbantahkan. Soal pemerataan pembangunan misalnya, kata Musni, tidak harus dilakukan dengan cara memindahkan Ibu Kota.
“Peningkatan pelayanan publik bisa diwujudkan tanpa harus pindah ibukota. Tingkat kemacetan di Jakarta bisa dikurangi dengan kebijakan yang pro penggunaan transportasi publik,” terangnya.
Begitu juga kehadiran pemerintah daerah, menurut Musni, persoalan itu juga bisa dilakukan tanpa harus memindahkan Ibu Kota.
Wajah Perkonomian DKJ
Dari sisi ekonomi juga sama. Ekonom Partai Buruh Gede Sandra mengatakan, Jakarta sejak awal telah menjadi pusat transaksi keuangan dan aktivitas perekonomian di Indonesia. Meski begitu, ia ragu Jakarta akan benar-benar berubah menjadi pusat bisnis dunia setelah berubah statusnya.
“Untuk menjadi pusat bisnis global seperti Singapura dan Hongkong, sepertinya tidak mungkin terjadi hanya dengan mengganti status nama. Perlu strategi yang lebih konkret lagi,” ucap Gede pada Forum Keadilan, Selasa, 7/3.
Hal senada juga disampaikam oleh Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet. Sejak awal Jakarta telah memiliki kelengkapan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk menjadi kota bisnis. Meskipun begitu, ia pesimis Jakarta dapat mengatasi kemiskinan dan ketimpangan perekonomian di Jakarta.
Yusuf menjelaskan, masalah sosial ekonomi ditentukan oleh beberapa hal. Untuk menuntaskan permasalahan ini, tergantung bagaimana kebijakan gubernur yang memimpin Jakarta nantinya.
Ia melihat, Gubernur Jakarta sebenarnya memiliki ruang yang fleksibel, karena jumlah kapasitas fiskal yang relatif lebih besar dibanding kota lainnya. Hal ini, kata dia, bisa menjadikan gubernur terpilih selanjutnya memiliki kapasitas belanja yang besar untuk mengakomodir berbagai kebijakan, terutama untuk menyelesaikan masalah sosial ekonomi.
Tetap Seksi bagi Politikus
Pengamat Politik Univeristas Al Azhar Ujang Komarudin memandang, Jakarta akan tetap menjadi pusat ekonomi bagi masyarakat, maupun pengusaha swasta meski tak lagi menyandang status Ibu Kota. Untuk itu, Jakarta akan tetap eksis dalam perpolitikan beberapa tahun ke depan.
“Dalam konteks itu, saya melihat bahwa Jakarta masih menjadi kota yang seksi. Masih menjadi pusat politik dalam beberapa waktu ke depan. Karena Ibu Kota Nusantara itu, hanya pusat pemerintahan saja yang di sana, sedangkan pusat ekonominya masih di sini, di Jakarta,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Rabu 6/3.
Tetapi, kata Ujang, tidak menutup kemungkinan bahwa ke depan jika seluruh elemen pemerintahan beserta penyiaran pemerintahan dan partai politik (parpol) pusat akan turut pindah ke IKN secara bertahap.
“Kalau misalnya gedung pemerintahan pindah, seperti gedung kementerian dan DPR RI, bisa jadi Badan Usaha Milik negara (BUMN) juga. Kedutaan-kedutaan besar juga nanti pindah. Itu yang mungkin secara bertahap. Kita juga tidak tahu kalau parpol pusat juga akan pindah atau tidak,” imbuhnya.
Sementara, Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli menyebut, perpindahan pusat parpol diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol. Di Pasal 18 ayat 1, menyebut bahwa organisasi parpol tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara.
“Kalau kita lihat dari UU Parpol seperti itu, partai politik pusat juga akan pindah,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Kamis 8/3.
Lili sendiri mengaku optimis dengan perubahan Jakarta sebagai kota perekonomian global. Menurutnya, infrastruktur Jakarta sudah lengkap. Jadi, tinggal dilihat bagaimana dukungan pemerintah pusat dan bagaimana gubernurnya nanti.
“Infrastrukturnya kan sudah lengkap. Pemerintah pusat tinggal mendorong dengan memberikan payung undang-undang dan kepastian. Saya optimis Jakarta akan menjadi magnet. Tetapi ini tergantung gubernur terpilih dan dukungan pemerintah, gubernur terpilih nanti inovatif dan visioner atau tidak,” tuturnya.
Lili menjelaskan, seharusnya Jakarta memiliki calon gubernur (cagub) yang memiliki visi dan misi untuk Jakarta ke depan. Sosok pemimpin yang tidak hanya mempersoalkan banjir di Jakarta, melainkan bisa membangun kota Jakarta jauh lebih baik lagi.* (Tim FORUM KEADILAN)