FORUM KEADILAN – Eks Ketua KPU RI sekaligus Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Juri Ardiantoro memberikan respons terkait putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) yang menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras terakhir kepada KPU, walaupun putusan tersebut menyatakan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres sah secara konstitusi.
Juri juga menyebut bahwa putusan DKPP tersebut berlebihan dan sangat rentan dipolitisasi.
“Kita menghormati keputusan dari DKPP. Namun meski harus tetap dihormati, keputusan DKPP sangat berlebihan dan berpotensi dimanfaatkan dan dipolitisasi oleh pihak-pihak yang selama ini terus mempersoalkan pencalonan Mas Gibran. Ini sengaja dikumpulkan untuk jadi amunisi mendowngrade pasangan nomor 2,” ujar Juri Ardiantoro dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa, 6/2/2024.
Juri meminta kepada masyarakat untuk tak terlalu mengkhawatirkan putusan yang menurutnya berlebihan dan menilai secara prinsip pencalonan Gibran Rakabuming Raka sudah sesuai dengan konstitusi.
“Ketua DKPP dengan jelas mengatakan bahwa putusan itu tidak mempengaruhi pencalonan Mas Gibran sebagai Cawapres karena sudah sesuai dengan konstitusi. KPU sudah menjalankan kewajiban konstitusionalnya. Hal itu terlihat jelas dalam pertimbangan putusan DKPP itu sendiri.” terangnya.
Juri mengatakan keputusan KPU yang tak mengubah PKPU pencalonan dan melaksanakan perintah MK tidak bisa disalahkan dikarenakan dua alasan.
“Pertama, putusan MK sudah serta merta membatalkan ketentuan UU yang dibatalkan MK dan peraturan turunan lainnya, yaitu Peraturan KPU. UU saja sudah otomatis tidak berlaku, apalagi hanya peraturan KPU,” lanjutnya.
Alasan kedua, Juri Ardiantoro mengatakan jika KPU tak melaksanakan putusan MK dalam arti menerima pendaftaran cawapres sebelum mengubah PKPU, justru hal tersebut bisa memicu permasalahan baru.
“Karena mengubah PKPU harus melalui rapat konsultasi dengan DPR dan itu membutuhkan waktu. Jika menunggu perubahan PKPU, maka KPU akan dipandang tidak melaksanakan putusan MK dan akan dihukum lebih berat karena bisa menghilangkan hak politik orang, sebagai calon presiden atau wapres. Ini lebih serius lagi,” sambungnya.
Ia berharap agar semua pihak menjaga kondusifitas Pemilu yang akan berlangsung dalam hitungan hari lagi.
“Kita tidak berharap ada hal-hal baru yang bisa dikaitkan dengan pencalonan. Mari kita semua bersikap sensitif karena pemilihan tidak sampai 10 hari. Semua hal terkait akan rentan politisasi. Ini saatnya rakyat menentukan pilihan, dan kita benar-benar kembalikan kedaulatan kepada rakyat,” tandasnya.
Putusan DKPP Terhadap Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari
Diberitakan, DKPP memutuskan bahwa Ketua KPU Hasyim Asy’ari telah melanggar kode etik pendoman penyelenggara Pemilu. DKPP memberikan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy’ari.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy’ari selaku teradu satu dalam perkara nomor 135-PKE/DPP/XII/2023 perkara nomor 136-PKE-DKPP/XXII/2023, perkara nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023 selaku ketua merangkap anggota KPU sejak putusan ini dibacakan,” ujar Ketua DKPP Heddy Lugito dalam sidang pembacaan putusan, Senin, 5/2.
Hal tersebut ialah hasil sidang putusan terhadap perkara nomor 135-PKE/DPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XXII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, 141-PKE-DKPP/XII/2023.
“Teradu satu (Hasyim Asy’ari) dalam perkara nomor 135-PKE/DPP/XII/2023 perkara nomor 136-PKE-DKPP/XXII/2023, perkara nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman penyelenggara Pemilu,” kata Heddy.
DKPP juga menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada enam Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochammad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holid.
Mereka dinyatakan melanggar kode etik dan perilaku dalam perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat batas usia capres-cawapres pada 16 Oktober 2023.
KPU seharusnya segera mengubah PKPU sebagai pedoman teknis pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2024. Sebab, pada PKPU pertama syarat batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun dan belum ada embel-embel asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah sesuai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Menurut Wiarsa, dalam persidangan para teradu berdalih baru mengirimkan surat pada 23 Oktober 2023 karena DPR sedang dalam masa reses.
Namun, Wiarsa mengatakan, alasan KPU terkait keterlambatan permohonan konsultasi dengan DPR dan pemerintah usai putusan MK tidak tepat.
“DKPP berpendapat dalih para teradu terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,” ujar Wiarsa.
Selain itu, DKPP menilai, sikap para komisioner KPU yang terlebih dulu menyurati pimpinan partai politik usai putusan MK tentang syarat batas usia capres-cawapres ketimbang melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah juga menyimpang dari PKPU.
“Para teradu dalam menaati putusan MK a quo dengan bersurat terlebih dulu kepada pimpinan partai politik adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan perintah pasal 10 Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan di lingkungan KPU,” jelas Wiarsa.
Wiarsa mengatakan, dalam pertimbangan DKPP, tindakan ketua dan komisioner KPU yang tidak segera melakukan konsultasi kepada DPR dan Pemerintah untuk melakukan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang pencalonan peserta Pemilu dan capres-cawapres merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
“Para teradu seharusnya responsif terhadap kebutuhan pengaturan tahapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden 2024 pasca putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena telah terjadi perubahan terhadap syarat capres-cawapres untuk 2024,” papar Wiarsa.
“Terlebih Peraturan KPU sebagai peraturan teknis sangat dibutuhkan untuk menjadi pedoman cara bekerjanya KPU dalam melakukan tindakan penerimaan pendaftaran bakal capres-cawapres pasca putusan Mahkamah Konstitusi a quo,” sambungnya.
Dalam amar putusan, DKPP memerintahkan KPU untuk melaksanakannya paling lama 7 hari sejak dibacakan. DKPP juga memerintahkan Bawaslu mengawasi pelaksanaan putusan itu.*