FORUM KEADILAN – Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Habiburokhman, menanggapi putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari melanggar kode etik terkait penerimaan pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Menurut Habiburokhman, putusan DKPP tidak ada kaitannya secara hukum dengan status pencalonan Prabowo-Gibran, karena bukan sebagai Terlapor atau turut Terlapor.
“Bahwa Putusan DKPP tidak ada kaitannya secara hukum dengan status pencalonan paslon Prabowo-Gibran, karena bukan sebagai Terlapor atau turut Terlapor,” kata Habiburokhman, kepada wartawan, Senin, 5/2/2024.
Habiburokhman juga menekankan, putusan DKPP tidak menyebut pendaftaran Prabowo-Gibran maju sebagai kandidat Pilpres 2024 tidak sah.
“Putusan DKPP juga tidak menyebut pendaftaran Prabowo-Gibran menjadi tidak sah,” sambungnya.
Habiburokhman mengatakan, pihaknya menghormati putusan DKPP tersebut. Namun dia mengatakan, putusan itu tidak bersifat final.
“Kami menghormati putusan DKPP ini sebagai lembaga yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Namun perlu dipahami bahwa putusan DKPP sebagaimana diatur Pasal 458 Undang-Undang Pemilu tidak lagi bersifat final, karena sudah dapat menjadi objek PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) sebagaimana diputus oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 32/PUU-XIX/2021,” ujarnya.
Menurut Habiburokhman, putusan DKPP lebih mempermasalahkan aspek teknis pendaftaran. Dia juga menegaskan bahwa Prabowo-Gibran berhak mendaftar ke KPU RI dengan merujuk pada konstitusi.
“Putusan DKPP ini lebih terkait persoalan teknis pendaftaran, komisioner KPU kena sanksi karena melakukan kesalahan teknis, bukan pelanggaran substantif. Intinya berdasarkan konstitusi Prabowo-Gibran berhak mendaftar, justru kalau tidak diberikan kesempatan mendaftar maka akan terjadi pelanggaran konstitusional. Kalau saja waktu itu KPU tidak menerima pendaftaran mereka justru terancam sanksi lebih berat,” ujarnya.
Habiburokhman kemudian mengungkit revisi Peraturan KPU (PKPU) soal pendaftaran syarat calon presiden (capres) sudah disetujui bersama DPR dalam rapat kerja (raker) pada 31 Oktober 2023.
“Perlu diketahui bahwa Revisi PKPU terkait pendaftaran syarat capres sudah disetujui oleh Komisi II DPR RI pada raker 31 Oktober 2023,” kata dia.
Ketua KPU Langgar Kode Etik
Sebelumnya, DKPP memutuskan bahwa Ketua KPU Hasyim Asy’ari telah melanggar kode etik pendoman penyelenggara Pemilu. DKPP memberikan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy’ari.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy’ari selaku teradu satu dalam perkara nomor 135-PKE/DPP/XII/2023 perkara nomor 136-PKE-DKPP/XXII/2023, perkara nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023 selaku ketua merangkap anggota KPU sejak putusan ini dibacakan,” ujar Ketua DKPP Heddy Lugito dalam sidang pembacaan putusan, Senin, 5/2.
Hal tersebut ialah hasil sidang putusan terhadap perkara nomor 135-PKE/DPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XXII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, 141-PKE-DKPP/XII/2023.
“Teradu satu (Hasyim Asy’ari) dalam perkara nomor 135-PKE/DPP/XII/2023 perkara nomor 136-PKE-DKPP/XXII/2023, perkara nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman penyelenggara Pemilu,” kata Heddy.
DKPP juga menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada enam Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochammad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holid.
Mereka dinyatakan melanggar kode etik dan perilaku dalam perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat batas usia capres-cawapres pada 16 Oktober 2023.
KPU seharusnya segera mengubah PKPU sebagai pedoman teknis pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2024. Sebab, pada PKPU pertama syarat batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun dan belum ada embel-embel asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah sesuai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Menurut Wiarsa, dalam persidangan para teradu berdalih baru mengirimkan surat pada 23 Oktober 2023 karena DPR sedang dalam masa reses.
Namun, Wiarsa mengatakan, alasan KPU terkait keterlambatan permohonan konsultasi dengan DPR dan pemerintah usai putusan MK tidak tepat.
“DKPP berpendapat dalih para teradu terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,” ujar Wiarsa.
Selain itu, DKPP menilai, sikap para komisioner KPU yang terlebih dulu menyurati pimpinan partai politik usai putusan MK tentang syarat batas usia capres-cawapres ketimbang melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah juga menyimpang dari PKPU.
“Para teradu dalam menaati putusan MK a quo dengan bersurat terlebih dulu kepada pimpinan partai politik adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan perintah pasal 10 Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan di lingkungan KPU,” jelas Wiarsa.
Wiarsa mengatakan, dalam pertimbangan DKPP, tindakan ketua dan komisioner KPU yang tidak segera melakukan konsultasi kepada DPR dan Pemerintah untuk melakukan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang pencalonan peserta Pemilu dan capres-cawapres merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
“Para teradu seharusnya responsif terhadap kebutuhan pengaturan tahapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden 2024 pasca putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena telah terjadi perubahan terhadap syarat capres-cawapres untuk 2024,” papar Wiarsa.
“Terlebih Peraturan KPU sebagai peraturan teknis sangat dibutuhkan untuk menjadi pedoman cara bekerjanya KPU dalam melakukan tindakan penerimaan pendaftaran bakal capres-cawapres pasca putusan Mahkamah Konstitusi a quo,” sambungnya.
Dalam amar putusan, DKPP memerintahkan KPU untuk melaksanakannya paling lama 7 hari sejak dibacakan. DKPP juga memerintahkan Bawaslu mengawasi pelaksanaan putusan itu.*