Beda Kadar Etika di Mata Pemilih Muda

Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 dan 2, Mahfud MD dan Gibran Rakabuming Raka, dalam debat Pilpres keempat di JCC, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu 21/1/2024 | YouTube KPU RI
Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 dan 2, Mahfud MD dan Gibran Rakabuming Raka, dalam debat Pilpres keempat di JCC, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu 21/1/2024 | YouTube KPU RI

FORUM KEADILAN – Calon wakil presiden (cawapres) termuda, Gibran Rakabuming Raka dianggap tak sopan saat berhadapan dengan para pesaingnya. Padahal, kaum muda yang mendominasi Pemilu 2024 punya takaran tersendiri soal etika.

Aksi Gibran meneropong jawaban Mahfud MD di Debat Keempat Pilpres 2024 jadi sorotan. Kubu pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muahimin Iskandar (AMIN) menganggap gestur cawapres nomor urut 2 tersebut jauh dari etika ketimuran.

Bacaan Lainnya

Pasca-debat keempat, beberapa lembaga riset memperlihatkan banyak sentimen negatif terhadap Gibran.

Founder Drone Emprit Ismail Fahmi mengungkapkan, dalam analisis Drone Emprit di media sosial X pada 21 Januari 2024 pukul 10.00 WIB – 22 Januari pukul 23.59 WIB, Gibran mendapatkan 60 persen sentimen negatif dari total 51 ribu sebutan di X. Sisanya, 28 persen positif dan 6 persen netral.

Untuk Muhaimin (Cak Imin), dari total 355 ribu sebutan di X, 78 persennya menunjukkan sentimen positif. Sisanya, 12 persen netral dan 9 persen negatif.

Sedangkan Mahfud, mendapat total 173 ribu sebutan. Dari jumlah total itu, 71 persennya positif, 18 persen netral, dan 11 persen negatif.

Dalam ringkasannya, Ismail menjelaskan bahwa Gibran memiliki reaksi yang mayoritas negatif dari pengguna X. Hal ini berbanding terbalik dengan cawapres nomor urut 1 dan 3 yang menerima sentimen positif tinggi usai debat keempat.

Pantauan Digital Analisis Cakradata di Facebook, X, Youtube, TikTok, Instagram, berita online dan Blogs juga memperlihatkan pola serupa.

Cakradata mencatat, pada 21 Januari – 22 Januari 2024 pukul 09.00 WIB, Gibran menerima sentimen negatif paling banyak dibandingkan dengan dua cawapres lainnya.

Dari 224.840 total penyebutan Gibran, 50 persennya bernada negatif, 22 persen positif dan 28 persennya netral.

Kemudian, ada 219.273 percakapan yang menyebut Cak Imin. Dari jumlah total itu, ia hanya memiliki sentimen negatif sebanyak 8 persen. Sentimen positifnya ada 70 persen, dan yang netral 22 persen.

Sedangkan Mahfud MD mendapat total penyebutan 160.881. Dari jumlah itu, yang negatif hanya 9 persen. Untuk sebutan positifnya 70 persen, dan yang netral 21 persen.

Cakradata mencatat, penyebutan kata ‘songong’ menjadi sentimen negatif tertinggi terhadap Gibran. Jumlahnya mencapai 66 persen.

Begitu juga dengan Drone Emprit. Dalam postingannya, Ismail menjelaskan bahwa songong, tengil, dan niradab jadi penyumbang sentimen negatif.

 

Standar Etika Pemilih Muda

Kumpulan data-data tersebut seolah memperlihatkan bahwa gelagat Gibran saat berhadapan Mahfud dan Cak Imin melahirkan pandangan negatif terhadapnya. Padahal sebenarnya, etika sendiri tak ada aturannya.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, tidak ada aturan soal etika peserta pemilu di UU Pemilu. Etis atau tidaknya masing-masing kandidat, hanya dapat dilihat dari sudut pandang masyarakat.

Sementara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat, dari 204.807.222 jumlah pemilih di Indonesia, 52 persen di antaranya merupakan pemilih muda. Artinya, pemilih muda mendominasi Pemilu 2024.

Lantas, apakah para pemilih muda menjadikan etika sebagai ukuran dalam memilih?

Dosen Sekolah Tinggi Filisafat Driyarkara, Setyo Wibowo menjelaskan, etika sejatinya berkaitan erat dengan moral. Keduanya memiliki arti serupa, yaitu adat istiadat dan kebiasaan.

“Jadi, kata etika dan moral merujuk pada akar kata yang sama, yaitu perilaku sebuah masyarakat dalam memandang apa yang dianggap baik atau jahat,” katanya kepada Forum Keadilan, Kamis 25/1/2024.

Menurutnya, sangat sulit untuk memberikan penilaian objektif terkait etika, karena adat istiadat tiap kelompok masyarakat berbeda dan juga berkembang.

Ia mencontohkan, mencium pipi kiri dan kanan merupakan adat yang baik dan sopan di luar negeri. Namun, jika dilakukan di Indonesia dianggap tidak sopan.

“Jadi etika dan moral itu sulit dicari tolok ukurnya. Namun, sebagai anggota masyarakat, kita toh bisa merasakan mana yang etis mana yang tak etis,” ucapnya.

Seperti apa yang diungkapkan Driyakarya, Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dzuriyatun Toyibah memandang, kebenaran etika itu relatif.

Profesor yang akrab disapa Ibah ini menjelaskan, kaum muda punya mata berbeda dengan generasi yang lebih tua dalam melihat etika.

“Ada ketegangan antara generasi tua dan generasi muda dalam memahami satu hal. Apakah ini benar atau salah, sering terjadi perbedaan,” kata saat ditemui di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta, di Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis 25/1.

Menurut Ibah, baik generasi Z (Gen Z) maupun milenial cenderung menggunakan rasionalitas mereka untuk memberikan nilai.

“Jadi, biasanya mereka itu punya versi mereka sendiri. Versi mereka sendiri tentang apa yang disebut dengan benar, etis dan seterusnya itu. Dan ini kan kemudian tergantung ya. Kadang-kadang ada yang mengatakan bahwa benar. Etis itu constructed, setiap saat, itu terkonstruksi sedemikian rupa, ungkapnya.

Jadi, kata Ibah, bisa saja anak muda menyukai gestur Gibran saat mencari jawaban Mahfud di dalam debat keempat. Tetapi, bisa juga ada anak muda yang tidak suka.

Ibah memandang, hal seperti itu tidak bisa digeneralisasi. Harus ada survei yang lebih objektif perihal itu.

Gen Z dan milenial juga punya preferensi sendiri dalam memilih. Preferensi ini, menurut Ibah dapat dipengaruhi beragam faktor. Bisa hasil dari iklan, atau kampanye.

Preferensi itu juga bisa dipengaruhi oleh pihak yang lebih tua, para ulama dan akademisi. Bisa saja panutannya membenarkan tindakan Gibran, dan pemuda mengikutinya.

Ibah memaparkan, tindakan Gibran bisa dimaklumi jika ditarik dalam kultur kritis. Tidak perlu terlalu menuntut untuk bersikap sopan santun terhadap orang tua.

“Di kultur Barat, hubungan antara orang tua dengan anak itu rata-rata kan begitu. Maksudnya, memberikan daya kritis. Bagaimana orang itu sangat kritis kalau dianggap yang tua itu salah. Memang mereka diajarkan dengan cara begitu. Anak muda itu harus memiliki sikap yang baru terhadap segala sesuatu,” paparnya.

Tetapi, kultur Indonesia sendiri masih mementingkan sopan santun terhadap orang yang dituakan, tokoh-tokoh yang memiliki ilmu, dan memiliki pengaruh. Penghargaan terhadap mereka yang memiliki ilmu, itu masih menjadi satu kesepakatan di berbagai tradisi.

Ibah berpendapat, perbedaan pandangan antar generasi muda dan tua dalam memandang etika akan pudar jika ada satu kebenaran universal, atau kebenaran yang berlaku untuk semua kalangan usia. Masalahnya, saat ini kebenaran tersebut masih relatif.* (Tim FORUM KEADILAN)

Pos terkait