Jaga Netralitas di Segala Lini, Bawaslu Harus Kuatkan Taji

Bawaslu RI.
Bawaslu RI.

FORUM KEADILAN – Laporan soal tidak netralnya Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pilpres 2024 semakin santer terdengar. Di lain sisi, potensi mobilitas suara oleh para penjabat penyelenggara desa juga patut diwaspadai.

Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) per 10 Januari 2024, sudah ada 61 laporan atau temuan terkait pelanggaran netralitas ASN. Dari jumlah itu, sebanyak 38 diputus melanggar dan sudah direkomendasikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Bacaan Lainnya

Bawaslu sendiri mengaku heran dengan masih maraknya ASN yang melanggar netralitas. Padahal, aturannya jelas dan telah digaungkan berulang-ulang.

“Walaupun berbagai aturan secara jelas telah melarang keterlibatan ASN dalam politik praktis, bahkan berulang kali diadakan diskusi, diseminasi, maupun sosialisasi mengenai netralitas ASN, tetap saja pelanggaran ASN terus terjadi,” kata anggota Bawaslu, Puadi kepada Forum Keadilan, Rabu 17/1/2024.

Puadi bahkan mengatakan, pelanggaran netralitas ASN kemungkinan bertambah hingga pesta demokrasi ini benar-benar selesai.

Potensi peningkatan pelanggaran ketidaknetralan ASN di Pemilu 2024 juga diungkapkan oleh KASN.

Berdasarkan data KASN per 17 Januari 2024, di Pemilu 2019 terdapat 386 ASN yang terbukti melanggar netralitas. Kemudian, di tahun 2023 hingga 2024 sudah ada 135 yang terbukti.

Besar kemungkinan angka itu bertambah. Namun, KASN belum bisa memastikan karena Pemilu 2024 masih berjalan.

Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus angkat suara soal maraknya ASN yang tak netral. Ia menegaskan bahwa pelanggaran yang dilakukan oknum-oknum ASN itu merusak tatanan negara.

Dalam pandangan Guspardi, adanya ASN yang secara terang-terangan berpihak dalam pemilu ini, sangat memprihatinkan. Untuk itu Bawaslu harus berani menindak tegas.

“Bawaslu harus berani melakukan tindakan tegas terhadap siapapun yang melanggar ketentuan dan peraturan yang berlaku. Harus berani mengingatkan dan memproses. Bawaslu itu dijadikan barometer bagi masyarakat,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Kamis 18/1.

Guspardi menilai, seluruh tatanan pemerintah, baik ASN, TNI, Polri dan lainnya, harus menjaga reputasi serta integritas. Maka, jangan biarkan oknum yang tidak netral merusak integritas mereka dengan menciptakan kegaduhan di Pemilu 2024.

Tak cuma Bawaslu, Guspardi mengingatkan, KASN juga harus eksis dalam menyikapi kegaduhan pemilu yang dibuat oleh ketidaknetralan ASN. Selain itu, kata Guspardi, peran masyarakat untuk mengawal penegakan aturan juga diperlukan.

 

Potensi Mobilisasi di Segala Lini

Namun, potensi kecurangan dalam kontestasi pemilihan umum 2024 tak sebatas pada netralitas ASN. Mulai dari penjabat (Pj) kepala daerah sampai kepala desa, berpotensi dalam melakukan kecurangan dengan memobilisasi suara masyarakat agar memenangkan pasangan calon tertentu.

Hal ini diungkapkan oleh Peneliti dari Themis Indonesia, Hemi Lavour Febrinandes. Merujuk pada laporan Peta Titik Rawan Potensi Kecurangan Pemilu yang dirilis oleh Themis Indonesia dan gabungan Koalisi Masyarakat Sipil, ia mengatakan bahwa penunjukan langsung Pj kepala daerah membuka pintu potensi kecurangan pemilu.

Sejak tahun 2022 hingga 2023, terdapat 20 penjabat gubernur dan 178 penjabat bupati/wali kota yang dipilih langsung oleh Presiden dan juga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Hemi menilai, mekanisme pengangkatan penjabat kepala daerah ini sangat bermasalah karena tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK), contohnya seperti Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021 di mana penunjukan penjabat kepala daerah harus menggunakan peraturan pemerintah, bukan peraturan menteri.

Selain itu, pemerintah juga mengabaikan Putusan MK nomor 37/PUU-XX/2022 yang memerintahkan agar pengangkatan Pj kepala daerah tidak mengabaikan prinsip demokrasi dan berlangsung secara terbuka, transparan dan akuntabel.

“Pengangkatan ini tidak mengikuti mekanisme yang telah ditentukan oleh putusan MK. Dilakukan secara tertutup dan tidak meggakomodir masukan dari banyaknya DPRD,” ucapnya saat dihubungi Forum Keadilan, Kamis, 18/1.

Ia menggarisbawahi bahwa status Pj kepala daerah ialah aparatur sipil negara yang dilantik secara langsung oleh Presiden dan Kemendagri. Hemi mengaku pesimis mereka akan netral. Sebab, terdapat salah satu peserta pemilu yang memiliki relasi langsung dengan Presiden.

“Dapat diasumsikan mereka bisa diarahkan dalam satu komando untuk memenangkan salah satu pasangan calon (paslon),” katanya.

Di 20 provinsi yang dipimpin oleh Pj gubernur, terdapat sebanyak 160.165.574 suara. Pemilih tersebut berpotensi dicurangi secara struktur dengan melalui kebijakan, ataupun tindakan yang dilakukan oleh Pj kepala daerah.

Dari 20 provinsi itu, 10 provinsi termasuk dalam kategori kerawanan tinggi. Provinsi tersebut yaitu, Jawa Barat, Sumatra Utara, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo.

Selain itu, kata Hemi, potensi kecurangan dalam memobilisasi suara pemilih pada pemilu mendatang juga bisa datang dari kepala desa.

“Mobilisasi suara dalam penelitian kita tidak hanya soal penjabat. Kita mencoba menghubungkan relasi yang paling tinggi, dari presiden, menteri, sampai kepala desa,” tuturnya.

Kepala desa, menurutnya jadi salah satu aktor yang sangat rentan dimobilisasi. Sebab, mereka merupakan pemerintahan paling kecil yang berinteraksi langsung dengan masyarakat.

Menurut Hemi, kepala desa adalah orang yang akan memberikan data terkait program-program kesejahteraan yang ada di kementerian.

Tidak hanya mengelola dana desa yang jumlahnya bisa mencapai Rp1 miliar, tapi juga beberapa program sentral, seperti Kartu Keluarga Sejahtera, Program Keluarga Harapan dan Pengisian Data Terpadu Kesejahteraan Sosial.

“Jadi, kalau mereka telah menunjukkan keberpihakan, bisa saja mereka langsung memobilisasi siapa yang dapat bantuan tersebut,” ujarnya.

Hemi berpendapat, ada dua letak permasalahan mendasar terkait netralitas, yaitu kebijakan hukum dan penegakan hukum.

Pada kebijakan hukum, UU Pemilu sudah menegaskan bahwa kepala desa tidak boleh diikutsertakan dalam kampanya karena hal tersebut termasuk dalam pelanggaran pemilu. Namun, kata Hemi, hal tersebut tidak diimplementasikan secara merata.

Sementara untuk penegakan hukum dikembalikan ke Bawaslu sebagai pihak yang berwenang mengawasi dan menyelidik dugaan pelanggaran pemilu. Menurutnya, lembaga itu tidak memiliki taji.

Ia bercerita, pihaknya pernah melaporkan dugaan dari oknum pejabat yang mengkampanyekan salah satu paslon di rumah dinasnya. Sampai saat ini, kata dia, tidak ada respons dari Bawaslu.

“Tidak, ditolak. Tidak diterima dan tidak ada follow up komunikasi lebih lanjut. Artinya Bawaslu tidak serius menangani dugaan kecurangan pemilu,” tukasnya.* (Tim FORUM KEADILAN)