FORUM KEADILAN – Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) membeberkan potensi meningkatnya ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemilu 2024. Kondisi itu tentu berbanding terbalik dengan slogan ‘ASN Pilih Netral’ yang selama ini digaungkan pemerintah.
Anggota Bawaslu, Puadi mengatakan, netralitas ASN bak acara rutin di setiap pergelaran pemilu. Bukan tak diperingatkan, pihaknya mengaku sudah berulang kali mengadakan diskusi dan sosialisasi soal netralitas ASN.
Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Pelanggaran masih saja terus terjadi.
“Potensi ketidaknetralan ASN masih sangat besar. Harus diakui, pelanggaran netralitas ASN terlihat seperti annual event (acara tahunan) saat pemilu atau pilkada dilangsungkan,” kata Puadi kepada Forum Keadilan, Rabu 17/1/2024.
Puadi tak habis pikir. Padahal, sudah ada aturan yang jelas-jelas melarang ASN untuk terlibat dalam politik praktis. Mendukung pasangan calon (paslon) tertentu secara terang-terangan itu dilarang.
Sebagaimana diketahui, setidaknya ada tiga aturan yang memaksa ASN untuk bersikap netral. Pertama, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pasal 2 dalam UU ASN menyatakan, setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun, dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu.
Kedua, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 aturan tersebut mengatakan, ASN, anggota TNI dan Polri, kepala desa, perangkat desa, serta anggota badan permusyawaratan desa dilarang menjadi pelaksana atau tim kampanye pemilu.
Ketiga, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam aturan itu, terdapat dua pasal yang mengatur tentang netralitas ASN yaitu, Pasal 70 dan Pasal 71. Pasal 70 ayat (1) berbunyi, dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan ASN, anggota Kepolisian, dan anggota TNI. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak Rp6 juta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 189.
Kemudian, Pasal 71 ayat (1) berbunyi pejabat negara, pejabat ASN, dan kepala desa atau sebutan lain/Lurah, dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak Rp6 juta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 188.
Selain ketiga aturan itu, ada juga larangan tertuang di Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 2 tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilu. ASN dilarang membuat unggahan, mengomentari, membagikan (share), menyukai (like), hingga bergabung atau follow akun atau grup kampanye pemenangan peserta pemilu.
“Walaupun berbagai aturan secara jelas telah melarang keterlibatan ASN dalam politik praktis, bahkan berulang kali diadakan diskusi, diseminasi, maupun sosialisasi mengenai netralitas ASN, tetap saja pelanggaran ASN terus terjadi,” keluh Puadi.
Menurut Puadi, Bawaslu telah memprediksi kalau tingkat kerawanan pelanggaran pemilu akan banyak terjadi pada netralitas ASN. Bahkan, pelanggaran itu terus mengalami eskalasi.
Dirinya memaparkan, sepanjang Pemilu 2019, Bawaslu menerima 85 laporan dari berbagai pihak terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN. Kemudian, Bawaslu juga menemukan 914 dugaan pelanggaran yang sama.
“Dari sejumlah laporan dan temuan tersebut, 4 kasus diproses pidana, 101 kasus bukan pelanggaran, dan 894 direkomendasikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN),” tuturnya.
Sementara di Pemilu 2024, per 10 Januari 2024, Bawaslu telah menerima 61 laporan atau temuan terkait pelanggaran netralitas ASN dan aturan lainnya. Dari jumlah itu, sebanyak 38 diputus melanggar dan sudah direkomendasikan ke KASN.
Puadi menjabarkan, pelanggaran netralitas ASN pada Pemilu 2024 terjadi dalam beberapa bentuk. Bentuk pertama, memberikan dukungan kepada peserta pemilu melalui media sosial atau media masa. Ada 19 kasus dalam bentuk itu.
Bentuk kedua, mengajak atau mengintimidasi untuk mendukung salah satu peserta pemilu. Ada 6 kasus terkait dugaan pelanggaran ini.
Bentuk ketiga, melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri pada salah satu partai politik. Jumlahnya 5 kasus.
Keempat, menggunakan atribut peserta pemilu, ada 3 kasus. Kelima, mendeklarasikan diri sebagai bakal calon legislatif (caleg), 3 kasus.
Terakhir, mendampingi bakal calon saat melakukan pendaftaran peserta pemilu atau caleg. Jumlahnya ada 2 kasus.
Puadi mengaku, semua pelanggaran tersebut sudah diproses oleh Bawaslu berdasarkan mekanisme penanganan pelanggaran yang diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilu.
Ia juga menjelaskan bahwa pada Pemilu 2024 masih sama dengan pemilu sebelumnya, tidak ada modus baru.
Menurutnya, bentuk pelanggaran ketidaknetralan ASN yang umumnya terjadi antara ialah memberikan dukungan melalui media sosial atau massa, menghadiri atau mengikuti acara silahturahmi atau sosialisasi atau bakti sosial bakal paslon atau partai politik.
Kemudian, melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri pada salah satu partai politik, mendukung bakal calon, dan mendeklarasikan diri sebagai bakal calon.
Selain itu, ada juga modus sosialisasi bakal calon melalui alat peraga kampanye (APK), mempromosikan diri sendiri atau orang lain, dan mengajak atau mengintimidasi untuk mendukung salah satu calon.
Puadi mengungkapkan, kasus ketidaknetralan ASN tidak hanya terjadi pada paslon tertentu saja, melainkan tersebar hampir ke setiap peserta pemilu.
“Ketidaknetralan ASN tersebut hampir tersebar pada setiap peserta pemilu. Umumnya ketidaknetralan ASN tersebut terkait memberikan dukungan kepada peserta pemilu melalui media sosial dan mengajak atau mengintimidasi untuk mendukung salah satu peserta pemilu,” pungkasnya.
Potensi peningkatan pelanggaran ketidaknetralan ASN di Pemilu 2024 juga diungkapkan oleh KASN. Berdasarkan data KASN per 17 Januari 2024, di Pemilu 2019 terdapat 386 ASN yang terbukti melanggar netralitas. Kemudian, di tahun 2023 hingga 2024 sudah ada 135 yang terbukti.
Angka pelanggaran ketidaknetralan ASN tersebut kemungkinan bertambah. Namun, KASN belum bisa memastikan karena Pemilu 2024 masih berjalan.
Dosa Siapa?
Komisioner KASN Bidang Pengawasan Nilai Dasar, Kode Etik, dan Netralitas ASN, Arie Budhiman menjelaskan, pelanggaran netralitas ASN lebih banyak di Pilpres dan Pilkada dibanding Pileg. Sedangkan untuk kecenderungan ketidaknetralan ASN, lebih condong ke pemerintah daripada ke oposisi.
“Pelanggaran Netralitas ASN tentu bisa dikategorikan dari pihak pemerintah,” ujar Arie kepada Forum Keadilan, Rabu 17/1.
Untuk menanggulangi ketidaknetralan ASN, Ketua KASN Prof Agus Pramusinto mengaku telah berkoordinasi dengan Bawaslu dan meningkatkan kinerja mereka.
“KASN melakukan sosialisasi, kampanye, edukasi kepada ASN terkait dengan netralitas. Para ASN harus fokus dalam bekerja dan melayani warga secara adil. Tidak boleh diskriminatif karena perbedaan pilihan politik,” ungkapnya.
Menurut Agus, ASN sudah seharusnya menjadi contoh untuk netral dan tidak berpihak kepada peserta pemilu.
Soal ketidaknetralan ASN, Pengamat Politik dari Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah punya pandangan berbeda. Menurut Dedi, ketidaknetralnya ASN tidak sepenuhnya menjadi dosa si pelanggar.
Dedi menjelaskan, ASN sejatinya masuk dalam kategori penyelenggara negara. Tetapi, mereka diberi hak untuk memilih.
“Jika ASN diberi hak memilih, harusnya mereka juga dibebaskan saja menentukan arah pilihan. Tidak seharusnya dipaksa netral. Bagaimanapun, mereka saat ini statusnya pemilik hak suara,” kata Dedi kepada Forum Keadilan, Kamis 18/1.
Dedi mengungkapkan, ASN baiknya disamakan dengan TNI dan Poliri yang tidak punya hak pilih. Namun, apabila masih ingin menjalankan sistem yang ada, maka penegakan hukumnya lah harus diperkuat.
Kalau hanya mengandalkan Bawaslu, persoalan netralitas ASN tidak akan kunjung terurai. Sebab menurut Dedi, Bawaslu tak punya wewenang memberi kesimpulan hukum terhadap ASN yang melanggar.
Dedi memandang, masalah ketidaknetralan ASN juga bersumber pada instruksi pimpinan lembaganya. Jika bukan karena instruksi pimpinan, mereka tidak akan secara ekspresif sampaikan pilihan.
Mirisnya lagi, Dedi melihat Presiden Joko Widodo (Jokowi) seakan membiarkan elit negara hingga kepala daerah memberikan dukungan. Khusunya, dukungan kepada pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.
“Presiden sendiri lakukan pembiaran terhadap elit negara. Mulai dari para menteri, hingga kepala daerah yang pro terhadap Prabowo. Wajar jika di bawah juga demikian,” tukasnya.
Meskipun Bawaslu mengatakan, kasus ketidaknetralan ASN tak hanya terjadi pada satu paslon tertentu saja. Tetapi menurut catatan Dedi, kasus pelanggaran netralitas ASN di Pilpres 2024 lebih banyak ke yang mendukung Prabowo-Gibran, sekalipun skalanya masih relatif kecil.
Namun, Dewan Pakar Tim Kemenangan Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Mulya Amri membantah pernyataan tersebut. Ketidaknetralan ASN, kata dia, bisa saja terjadi atau dilakukan oleh pihak manapun, bukan hanya petahana.
Sedangkan soal tudingan Jokowi yang membiarkan elite negara hingga kepala desa dukung Prabowo-Gibran, dijawab Mulya dengan mengutip beberapa kolom pemberitaan di media sosial.
Kolom itu menjelaskan bahwa sistem hukum di Indonesia tidak melarang kepala negara, wakil kepala negara, atau kepala daerah yang sedang menjabat untuk memberikan dukungan kepada kandidat capres tertentu.
“Yang tidak boleh adalah menggunakan fasilitas pemerintah untuk kampanye,” katanya saat dikonfirmasi Forum keadilan, Kamis 18/1.* (Tim FORUM KEADILAN)