Dana Kampanye AMIN yang Sedikit, Bisa Melemahkan dan Menguatkan

Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin resmi mendaftar sebagai pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2024-2029 di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, Kamis, 19/10/2023 | Ari Kurniansyah/Forum Keadilan
Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin resmi mendaftar sebagai pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2024-2029 di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, Kamis, 19/10/2023 | Ari Kurniansyah/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Dana kampanye Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) yang terlampau sedikit menimbulkan kecurigaan. Tetapi, sedikitnya dana tersebut juga digunakan untuk memancing simpati publik.

Di tengah panasnya isu dana kampanye janggal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sempat merilis laporan modal awal kampanye ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) 2024.

Bacaan Lainnya

Pasangan nomor urut 1, AMIN, tercatat sebagai pengguna modal awal kampanye terkecil, yakni Rp1 miliar. Menurut laporan, dananya berasal dari sumbangan para calon.

Kemudian, pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memiliki anggaran kampanye terbesar, yaitu Rp31,4 miliar.

Anggaran tersebut berasal dari dua sumber. Pertama dari kantong pribadi, dana sebesar Rp2 miliar. Kedua sumbangan dari partai. Sumbangan ini berbentuk barang senilai Rp600 juta, dan jasa senilai Rp28,8 miliar.

Sementara itu, pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mengawali kampanye dengan modal Rp23,32 miliar. Dana pribadi pasangan sejumlah Rp100 juta, sumbangan partai atau gabungan partai politik sebesar Rp2,9 miliar, sumbangan perseorangan senilai Rp1,6 juta, dan sumbangan perusahaan atau badan usaha nonpemerintah sebesar Rp20,3 miliar. Semuanya itu, dalam bentuk uang.

Dari laporan tersebut, tampak jelas bahwa dana awal kampanye Anies-Muhaimin sangat kecil. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan dua kandidat lainnya.

Kecilnya dana kampanye AMIN memancing kecurigaan di masyarakat. Bahkan, Lingkar Nusantara (Lisan) sempat melaporkan AMIN ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atas dugaan manipulasi dana kampanye.

Terlepas dari itu, kecilnya laporan dana kampanye AMIN dinilai untuk meraup simpati di masyarakat luas. Namun, hal itu justru membuat dirinya sulit meraih kemenangan.

Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin juga setuju bahwa dana Rp1 miliar itu sangat kecil. Jumlah tersebut tidak ada apa-apanya jika digunakan untuk kampanye ke seluruh Indonesia.

“Iya itu tergolong kecil. Bahkan, sangat kecil dalam konteks Indonesia yang seluas 38 provinsi, harus kampanye besar-besaran dibanyak daerah. Rp1 miliar enggak ada apa-apanya. Itu mungkin di rekening Rp1 miliar, ya sangat jauh kalau mau menang,” kata Ujang kepada Forum Keadilan, Selasa 26/12/2023.

Ujang sendiri mempertanyakan, apakah dana kampanye AMIN besarannya memang sebagaimana dilaporkan ke KPU, atau ada dana lain yang belum dilaporkan? Sebab menurutnya, dana yang dilaporkan dengan yang tidak dilaporkan tentu sifatnya berbeda.

Memang, kata Ujang, dana kampanye akan mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Namun sekalipun berkembang, tak bisa disebut dana kampanye apabila tidak dilaporkan.

“Mungkin berkembang, tapi di luar dana kampanye yang resmi, dana kampanye yang sifatnya tidak dilaporkan. Mungkin kalau dilaporkan, Rp1 miliar mungkin lebih. Lebihnya itu yang menjadi tanggungan di luar dana kampanye yang dilaporkan,” ucap Ujang.

Ujang beranggapan, jumlah dana kampanye AMIN sangat kecil karena partai pendukung, yakni NasDem, PKB, dan PKS tidak menyumbang dana untuk kepentingan kampanye.

“Makanya enggak tahu apakah NasDem, PKS, PKB menyumbang atau tidak, tidak tahu. Bisa jadi tidak menyumbang, bisa jadi tidak turun untuk menambah dana kampanye bagi AMIN,” ujarnya.

Menurut Ujang, minimnya dana kampanye AMIN bisa menjadi langkah untuk mendapatkan simpati publik. Sehingga, masyarakat sama-sama membantu menyumbangkan dana kepada calon tersebut.

“Mungkin keuangannya seperti itu, atau untuk mendapat simpati dari publik. Misalkan ‘wah yang paling miskin, paling enggak punya,’ butuh dukungan dana dari publik dari masyarakat dengan mendapat simpati dari publik,” ungkapnya.

Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli juga sependapat soal itu. Ia mengatakan, penggunaan dana kampanye yang sedikit memungkinkan AMIN untuk menerapkan fundraising (penghimpunan dana). Melalui penerapan itu, publik dapat langsung ikut andil dalam pendanaan.

“Dengan memperoleh dana kampanye dari publik, calon terpilih nanti tidak tersandera. Sebaliknya, jika dana kampanye itu diperoleh dari para pengusaha kakap, dipastikan calon terpilih akan tersandera oleh kaum oligarki,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Selasa 26/12.

Lili menilai, sangat berbahaya apabila pendanaan kampanye didapat dari oligarki. Sebab nantinya, janji-janji kampanye yang harusnya bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan, justru dibelokkan untuk kepentingan oligarki.

“Jika ini yang terjadi, janji kampanye untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan, jauh panggang dari api. Janji kampanye hanya tinggal janji. Kesejahteraan dan keadilan tidak akan terwujud, karena para oligarki sengaja membiayai kandidat untuk mempertahankan cengkeraman ekonominya,” bebernya.

Lili menambahkan, dana kampanye yang besar, apalagi didapat dari pengusaha kelas kakap tidak akan berdampak baik. Sebab, di dalam politik, tidak ada makan siang gratis.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB Dita Indah Sari juga sempat angkat bicara soal ini. Menurut Dita, wajar saja kalau dana kampanye AMIN sangat kecil, karena pengusaha besar merapat ke dua kandidat lain.

“Memang AMIN paling sedikit. Pertama, kita melihat penguasa, pengusaha-pengusaha besar, oligarki-oligarki besar, pemilik kapital besar merapat pada pasangan non-AMIN. Sudah jelas itu,” kata Dita di Surabaya, Jawa Timur, Rabu 20/12.

Dita menyebut, ada beberapa alasan para pengusaha tidak mendukung AMIN. Pertama karena hasil survei yang menampilkan AMIN selalu berada di posisi tiga. Kedua, karena AMIN tidak memiliki kecocokan secara prinsip dengan pengusaha.

“Mereka melihat bahwa ada prinsip-prinsip kita yang mungkin tidak cocok dengan pandangan mereka. Misalnya, kita kritis ke IKN (Ibu Kota Nusantara). Padahal investor ke IKN banyak, dan beberapa investor pengusaha itu juga jadi bagian dari pemodal kontestan-kontestan itu,” pungkasnya.* (Tim FORUM KEADILAN)