ODGJ Boleh Nyoblos, Enggak Bahaya?

FORUM KEADILAN – Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masuk ke dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilu. Rentannya manipulasi suara, membuat polemik dalam kebijakan ini.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan, pada pemilu kali ini ODGJ boleh menyalurkan hak pilihnya dengan surat rekomendasi dokter.
Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menekankan, nantinya ODGJ yang ikut mencoblos nantinya akan didampingi oleh pengampu rumah sakit dan panti sosial masing-masing.
Kebijakan ini, kata Hasyim, merujuk ke aturan konstitusional di mana hak pilih ODGJ diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XIII/2015 yang melindungi hak pilih penyandang difabel.
“Di data KPU itu tentu saja di bawah pengampunya di bawah rumah sakit jiwa maupun di panti sosial,” ucap Hasyim dalam keterangannya, Kamis 21/12/2023.
Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli setuju dengan aturan tersebut. Menurutnya, meskipun mengidap gangguan jiwa, orang tersebut masih tetap memiliki hak pilih.
“Saya setuju dengan sikap KPU di mana ODGJ mempunyai hak pilih, jika atas rekomendasi dokter bahwa yang bersangkutan mampu tanpa lupa ingatan permanen,” katanya kepada Forum Keadilan, Sabtu 23/12/2023.
Lili melanjutkan, hal itu sudah sesuai dengan prinsip hak pilih universal yang dijamin oleh konstitusi, HAM, serta undang-undang mengenai konvensi hak penyandang difabel.
“Jadi tidak boleh diskriminatif terhadap mereka selama mereka masih mampu ingatannya,” lanjutnya.
Meskipun begitu, Lili tetap khawatir nantinya hak pilih suara itu disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Untuk itu, pelaksana pemilu serta dokter pengampu harus selektif agar tidak rentan dimanipulasi.
“Bisa saja memang rentan disalahgunakan atau dimanipulasi. Untuk itu, harus ketat dan selektif agar tidak rentan disalahgunakan. ODGJ yang punya hak pilih tersebut harus benar-benar ada rekomendasi dokter. Kalau tidak ada rekomendasi, mereka tidak boleh punya hak pilih,” jelasnya.
Terlepas dari itu semua, kata Lili, dalam rangka menjunjung hak politik yakni hak pilih universal, jika seseorang sudah memenuhi syarat, hak pilihnya harus dijamin.
“Mau tidak mau. Hak pilih merupakan hak yang dilindungi UUD 1945 dan HAM. Meskipun nanti, bisa saja mengalami kesulitan dan juga ada yang tidak masuk DPT. Kalau mereka yang mampu ingatannya ternyata tidak didata, tindakannya bisa dianggap sebagai pelanggaran atas konstitusi dan UU,” tegasnya.
Namun, Peneliti Kebijakan Publik Institute of Development of Policy and Local Partnership Riko Noviantoro punya pendapat berbeda. Menurutnya, aturan tersebut aneh.
“Perjanjian hukum itu berlaku sesuai syarat formil, dewasa, sadar, dan lain-lain. ODGJ itu kan orang yang tidak sadar, bagaimana bisa dinyatakan sah suaranya. ODGJ itu gugur dalam kewajiban ibadah agama. Kok sekarang bisa ada ODGJ ikut mencoblos?” katanya kepada Forum Keadilan, Sabtu 23/12.
Menurutnya, aturan itu tidak rasional. Kata Riko, ketika ODGJ mencoblos, maka suaranya menjadi gugur atau tidak sah karena tidak memenuhi syarat formil.
“Jika tetap dipaksakan, maka orang yang sedang pingsan pun boleh mencoblos. karena pingsan juga tidak sadar. Sangat rentan dimanipulasi. Makanya perlu pengawasan ketat dan integritas aparat yang tinggi. Jika mencoblos juga didampingi maka tidak sah juga, karena tidak memenuhi tata cara pencoblosan, yaitu rahasia,” tutupnya.*
Laporan Merinda Faradianti