FORUM KEADILAN – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) permanen dibentuk. Para hakim yang ditunjuk, diharap bisa menjaga dan mengembalikan martabat konstitusi.
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membentuk MKMK permanen. Tiga nama, yaitu mantan Hakim Konstitusi (MK) I Dewa Gede Palguna, mantan Rektor Universitas Andalas Yuliandri, dan Hakim MK Ridwan Mansyur ditunjuk sebagai penjaga benteng martabat konstitusi. Nantinya, mereka akan dilantik pada 8 Januari 2024 dengan masa jabatan satu tahun.
MKMK permanen, merupakan amanat Pasal 27A UU MK. Hal ini juga merupakan hasil rekomendasi MKMK ad hoc pimpinan Jimly Asshiddiqie dalam sidang perkara pelanggaran etik eks Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, Hakim Konstitusi sekaligus Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih juga mengatakan bahwa pembentukan MKMK merupakan bentuk penegasan atas janji Ketua Hakim Konstitusi yang baru, Suhartoyo.
Enny juga menjelaskan, lambatnya pembentukan MKMK ini bukan karena MK menunda pembentukannya. Tetapi memang terdapat agenda-agenda krusial yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh MK.
Terkait penunjukan hakim MKMK, kata Enny, sudah sesuai dengan unsur-unsur yang ada. Mereka berasal dari unsur tokoh masyarakat, akademisi, dan juga perwakilan hakim MK.
Ia memaparkan, terpilihnya Yuliandri dan Palguna sudah memenuhi persyaratan yang diatur salam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Persyaratan tersebut ialah berwawasan luas dalam bidang etika dan moral, memahami konstitusi dan putusan MK.
“Kalau memang dia tidak memahami putusan MK itu sangat menjadi hal yang rawan,” ucapnya dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu 20/12/2023.
Begitu juga dengan Ridwan Mansyur. Meskipun ia baru saja dilantik sebagai hakim, MK berpendapat bahwa Ridwan merupakan hakim yang bersih. Terlebih, kata dia, delapan hakim konstitusi lainnya telah mendapatkan sanksi dari MKMK ad hoc dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres dan cawapres.
Ia juga menegaskan, hakim dari unsur MK berbeda dengan hakim dari unsur tokoh masyarakat dan akademisi yang bersifat permanen. Perwakilan dari unsur Hakim MK bersifat ad hoc.
“Manakala kemudian hakim ad hoc ini diduga ada aduan atau laporan maka yang bersangkutan, bisa digantikan oleh hakim yang lainnya,” terangnya.
Pembentukan MKMK permanen diapresiasi oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah. Menurutnya, terbentuknya MKMK permanen sudah sesuai dengan amanat UU MK dan juga PMK.
Pria yang biasa dipanggil Castro ini mendukung terbentuknya MKMK permanen karena akan memudahkan penanganan kasus yang melibatkan pelanggaran etik Hakim MK.
“Kalau MKMK itu permanen, maka penanganan kasus laporan dugaan pelanggaran etik hakim MK akan jauh lebih efektif dan cepat. Sekaligus menjauhkan MK dari konflik kepentingan,” ucap Castro kepada Forum Keadilan, Rabu 20/12.
Jika bersifat ad hoc, kata dia, akan membuka ruang benturan kepentingan jika Ketua MK sendiri yang dilaporkan. Apalagi, ketua yang mengangkat dan menetapkan MKMK dalam surat keputusan.
Dihubungi terpisah, Ketua Perhimpunan Pengacara Konstitusi Viktor Santoso Tandiasa menyebut, MKMK permanen menjadi harapan dalam mengembalikan kembali kepercayaan publik pada lembaga penegak konstitusi. Apalagi, MK akan menghadapi Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
“Ini menjadi harapan kita semua. MKMK akhirnya dipermanenkan, sehingga pengawasan publik kepada hakim-hakim konstitusi bisa lebih kuat,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Kamis 21/12.
Viktor pun membenarkan bahwa tiga hakim MKMK yang terpilih memiliki rekam jejak yang baik dan tepat. Tiga orang tersebut menurutnya, memiliki integritas dan belum memiliki cacat, baik secara etik ataupun hukum.
Terkait dengan terpilihnya Ridwan Mansyur yang baru menjabat sebagai Hakim Konstitusi, ia sependapat dengan Enny. Dari sembilan hakim, memang hanya Ridwan yang belum memiliki cacat etik.
“Hakim MK yang belum terdapat cacat etik hanya Ridwan Mansyur, mengingat 8 hakim lainnya sudah pernah terkena sanksi etik kendati sanksinya adalah teguran ringan,” imbuhnya.
Selain itu, Viktor mengungkapkan bahwa masyarakat menghendaki adanya figur pengawas hakim yang masih memiliki rekam jejak yang bersih.
“Sehingga pengawas seorang negarawan tentunya harus lebih bersih dan berintegritas dari negarawan tersebut,” pungkasnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi