Rabu, 17 September 2025
Menu

Benar Tidaknya Pengakuan Agus Rahardjo Harus Dibuktikan

Redaksi
Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo | Ist
Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Pengakuan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo merupakan persoalan serius. Adanya dugaan intervensi dari Presiden terhadap Ketua KPK harus dibuktikan.

Sebagaimana diketahui, Agus Raharjo mengaku pernah diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan penanganan korupsi e-KTP yang menyeret Setya Novanto (Setnov).

Ia mengatakan, dirinya saat itu tidak menuruti perintah Jokowi dengan alasan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) sudah ditandatangani oleh pimpinan KPK, tiga pekan sebelum pertemuan tersebut.

Agus menjelaskan, pada saat itu KPK tidak punya wewenang menghentikan atau menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) karena tidak tercantum di undang-undang.

Tak lama kemudian, kata Agus, bergulir proses revisi UU KPK.

Memandang pengakuan tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Septa Chandra mengatakan, pernyataan Agus Rahardjo harus dibuktikan.

“Mengingat yang menyampaikan secara terbuka di media adalah mantan ketua KPK secara langsung. Jika yang disampaikan itu benar, maka ini menjadi persoalan serius dan berdampak secara hukum terhadap Presiden,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin, 4/12/2023.

Septa menjelaskan, Presiden tidak boleh menghalangi proses hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.

“Karena itu merupakan bagian dari mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung. Dalam penegakan hukum korupsi, makanya harus diseriusi dan dibuktikan agar terang benderang seperti apa kebenarannya,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia meminta DPR melaksanakan fungsi pengawasannya dengan menggunakan haknya untuk menginvestigasi lebih lanjut tentang kebenarannya.

Septa menegaskan, dugaan intervensinya dari Presiden seharusnya dilaporkan kepada DPR.

“Karena presiden adalah jabatan politik, maka hanya akan berhenti atau bisa dimakzulkan secara politik atau mekanisme politik,” katanya.

Ia sendiri menyayangkan, kenapa saat itu Agus tidak melapor ke DPR. Padahal Septa yakin, Agus bisa mempertanggungjawabkan pengakuannya.

“Kalau berani menyampaikan di publik apalagi di media seperti itu, pasti bisa dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan. Karena kalau tidak, bisa mempunyai konsekuensi secara hukum. Itu masuk pencemaran nama baik atau fitnah,” tegasnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Muchtar.

Pria yang akrab disapa Uceng itu berpendapat, pengakuan Agus bukanlah hasil rekayasa semata. Untuk itu, harus dicek kebenarannya.

Terlebih pimpinan KPK lainnya, seperti Alexander Marwata juga membenarkan pengakuan Agus.

“Kalau saya kira, kebenarannya itu tidak mustahil, karena ada beberapa konteks misalnya beberapa komisioner lain juga mengafirmasi, dan mengatakan cerita itu pernah ada. Jadi artinya, kayaknya tidak dikarang-karang,” ucap Uceng kepada Forum Keadilan, Senin 4/12.

Selain itu, kata Uceng, intervensi yang dilakukan Jokowi mungkin saja benar.

Terlebih, Setnov saat tersandung kasus e-KTP merupakan Ketua DPR RI dan juga Ketua Umum Golkar. Di mana pada tahun 2016, partai berlogo pohon beringin merupakan salah satu partai pengusung Jokowi.

“Kedua, memang sikap Jokowi kelihatannya membela. Dalam beberapa waktu saat itu, kelihatannya membela Setya Novanto. Jadi, bisa jadi cerita itu benar kalau secara kebenaran,” ujarnya.

Meskipun peristiwa itu baru Agus ungkapkan di masa Pilpres 2024, Uceng meyakini bahwa pengakuan tersebut tidak ada unsur politisnya.

“Karena dia sudah cerita juga ke beberapa komisioner lain. Tapi bahwa dia cerita ke media kan soalan lain,” ucapnya.

Uceng melihat, tindakan intervensi tersebut mengarah pada perbuatan obstruction of justice.

“Jelas saja. Mengintervensi kekuasaan kehakiman, mengintervensi jalannya penegakan hukuman anti korupsi, bahkan kalau memang benar ceritanya, dia marah-marah dan kemudian menyuruh menghentikan, ya sangat mungkin itu dianggap sebagai tindakan mengarah proses obstruction of justice,” bebernya.

Tetapi Uceng menegaskan bahwa apa yang terjadi saat itu, semuanya harus diperjelas terlebih dahulu.* (Tim FORUM KEADILAN)