FORUM KEADILAN – Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh (GS) telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima gratifikasi terkait sejumlah perkara yang ditanganinya.
KPK mengungkapkan bahwa salah satu gratifikasi yang terkait adalah kasasi eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
“GS (Gazalba Saleh) menerima pemberian sejumlah uang sebagai bentuk penerimaan gratifikasi diantaranya untuk putusan dalam perkara kasasi dengan terdakwa Edhy Prabowo, Rennier Abdul Rahman Latief dan peninjauan kembali dari terpidana Jafar Abdul Gaffar,” ungkap Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Kamis, 30/11/2023.
Gazalba diduga telah menerima gratifikasi untuk mengatur amar putusan perkara yang ditanganinya.
KPK menduga Gazalba mengatur agar putusan kasasi menguntungkan pihak yang memberi gratifikasi.
“Untuk perkara yang pernah disidangkan dan diputus GS, terdapat pengkondisian terkait amar isi putusan yang mengakomodir keinginan dan menguntungkan pihak-pihak berperkara yang mengajukan upaya hukum di MA. Dari pengondisian isi amar putusan tersebut,” lanjut Asep.
Tetapi, KPK belum bisa menjelaskan detail berapa jumlah duit yang diduga diterima Gazalba terkait perkara Edhy Prabowo dan Asep juga mengatakan bahwa pihaknya Gazalba tidak bisa menjelaskan detail dugaan gratifikasi yang diterimanya dari tiap perkara.
“Jadi begini, ada sejumlah uang dan beberapa perkara. Nah, ini tidak bisa dipilah dari satu yang berapa, mungkin karena sudah waktunya lampau, kemudian nilainya tidak bisa jelas diingat, sehingga kalau suap harus jelas suapnya dari perkara siapa, jumlahnya berapa, kapan diberikan, kapan diterima, siapa yang berikan, siapa yang menerima. Nah karena tidak jelas, hanya memang perkara yang ditanganinya adalah salah satu perkara pak EP (Edhy Prabowo),” jelas Asep.
“Nah, kalau dari awal kami mengetahui bahwa di perkara misal Pak EP beri uang dan kita tahu itu pasalnya kita menggunakan pasal suap, karena banyak sekali kita jaring pakai pasal gratifikasi. Bentuknya tadi sudah rumah jadi tanah masuknya ke TPPU karena sudah berubah,” tambah Asep.
Asep juga mengatakan bahwa Gazalba diduga menerima uang gratifikasi sekitar Rp15 miliar dan hal tersebut diterima oleh Gazalba dalam kurun 2018-2022.
“Sebagai bukti permulaan awal dimana dalam kurun waktu 2018 sampai dengan 2022 ditemukan adanya aliran uang berupa penerimaan gratifikasi sejumlah sekitar Rp15 miliar,” kata Asep.
Gazalba Saleh dijerat Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebelumnya, Hakim Agung Gazalba Saleh telah keluar dari Rutan KPK setelah ia divonis bebas dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
KPK kemudian membuka melakukan penyidikan kasus lain terhadap Gazalba.
Kasus Edhy Prabowo
Pada November 2020 Edhy Prabowo diamankan KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang pada saat itu Edhy baru saja tiba di Bandara Soekarno-Hatta sepulangnya dari San Fransisco, Amerika Serikat.
KPK kemudian menetapkan Edhy sebagai tersangka bersama enam orang lainnya terkait suap ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
Beberapa tersangka tersebut ialah mantan staf Edhy Prabowo, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswandi; staf istri Edhy Prabowo, Faqih; serta sespri Edhy Prabowo, Amiril Mukminin, sebagai tersangka penerima suap.
Suharjito yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) juga tetapkan sebagai tersangka penyuap Edhy.
Singkat cerita, Edhy divonis 5 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Edhy juga dihukum tambahan dengan membayar uang pengganti sebesar Rp10 miliar.
Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta kemudian memperberat hukuman Edhy dari 5 tahun menjadi 9 tahun penjara dan denda sebesar Rp400 juta. Perbuatan korupsi yang dilakukan oleh Edhy dinilai telah meruntuhkan sendi kedaulatan negara.
Selain itu, Edhy diwajibkan mengembalikan uang hasil korupsinya, yakni sebesar Rp9,6 miliar dan US$77 ribu. Jika tidak membayar dalam waktu satu bulan sejak putusan inkrah, harta miliknya akan disita dan dirampas oleh negara.
Jika harta yang dimiliki tidak mencukupi, Edhy akan diganti dengan hukuman 3 tahun kurungan. Hak politik Edhy juga dicabut selama 3 tahun.
Edhy kemudian mengajukan kasasi sebagai bentuk perlawanan. Mahkamah Agung (MA) kemudian mengurangi hukuman Edhy Prabowo menjadi 5 tahun penjara.
Meskipun demikian, MA tetap menetapkan kewajiban bagi Edhy untuk membayar denda sebesar Rp9,6 miliar dan US$77 ribu. Hak politik Edhy juga dicabut selama 2 tahun.
Edhy kemudian mendapat total remisi 7 bulan 15 hari. Deddy mengatakan, hal itu didapat Edhy karena telah berkelakuan baik berdasarkan Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana.
“Selama menjalani pidana, yang bersangkutan telah berkelakuan baik berdasarkan Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana dengan total mendapat remisi sebanyak 7 bulan 15 hari,” ujarnya.*