FORUM KEADILAN – Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menuding adanya manipulasi hukum dalam polemik MK dan kecurangan pemilu. Tudingan tersebut dibantah Gerindra dengan bilang, mereka adalah korbannya.
Seperti diketahui, polemik MK muncul karena adanya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang meloloskan anak Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka menuju panggung Pilpres 2024.
Usai Majelis Kehormatan MK (MKMK) menyatakan paman Gibran, Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat dalam memproses perkara tersebut, keabsahan status pendaftaran Gibran pun banyak dipermasalahkan.
Ditengah perdebatan, Megawati akhirnya angkat bicara. Secara terang-terangan Presiden RI ke-5 menyebut adanya manipulasi hukum dalam polemik MK.
Hal tersebut, kata Megawati, merupakan akibat praktik kekuasaan yang mengabaikan kebenaran hakiki politik atas dasar nurani. Ia pun meminta masyarakat agar turut serta mengawal jalannya Pemilu 2024 agar rekayasa hukum dan kecurangan pemilu yang terlihat akhir-akhir ini tidak terjadi lagi.
Pernyataan Megawati kemudian dibantah Wakil Ketua Umum (Waketum) Gerindra Habiburokhman. Ia menegaskan, pihaknya tidak pernah melakukan kecurangan.
“Menunjuk orang, tiga jari berbalik ke yang menunjuk. Jadi kalau dicek soal netralitas kita lihat sejarah saja. Ada tidak sejarahnya kami melakukan kecurangan? Yang ada malah pernah disebut-sebut menjadi korban kecurangan,” katanya saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Senin 13/11/2023.
Habiburokhman mengaku, pihaknya menghormati sosok Megawati sebagai tokoh bangsa sekaligus anak Presiden pertama, Ir Soekarno.
Menurut dia, apa yang disampaikan Megawati menjadi hal baik yang perlu diterapkan, dan menjadi acuan dalam berdemokrasi. Tetapi, acuan tersebut tidak tepat jika ditujukan pada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Pasti apa yang disampaikannya, norma yang baik untuk kita ambil. Tetapi acuan yang dicontohkan sepertinya kurang tepat. Kalau soal putusan MK, jelas-jelas putusan MKMK menyatakan tidak bisa memeriksa dan menganalisa putusan MK. Artinya tidak ada masalah dengan keputusan MK. Tidak ada pelanggaran konstitusi, tidak ada pelanggaran undang-undang,” lanjutnya.
Sementara itu, Pengamat Politik Univesitas Al-Azhar Ujang Komarudin juga mengatakan bahwa dulu PDIP pernah melakukan hal serupa. PDIP pernah menentang perubahan syarat minimal pendidikan capres-cawapres agar Megawati bisa maju di Pilpres 2009.
“PDIP di masa lalu sama juga, dengan mengondisikan syarat minimal batas capres dulu jadi SMA itu dilakukan oleh PDIP. Jadi, sebetulnya kalau urusan politik sama saja,” kata Ujang kepada Forum Keadilan, Senin 13/11.
Ujang juga mengamini perkataan ‘korban’ yang sebelumnya disebutkan oleh Habiburokhman. Kata Ujang, PDIP pernah merugikan Gerindra di Perjanjian Batu Tulis. Di mana isi perjanjiannya adalah, Prabowo menjadi cawapres Megawati di Pilpres 2009, dan sebagai imbalannya, Megawati harus mendukung pencalonan Prabowo pada Pilpres 2014.
Sebagaimana diketahui, perjanjian itu tidak terpenuhi. Pada 2014, Megawati justru mendukung Jokowi sebagai presiden.
Untuk itu Ujang menjelaskan, saling menjatuhkan apabila tidak sejalan dengan pandangan, itu adalah politik kita.
“Prabowo yang dirugikan di Perjanjian Batu Tulis kan. Itulah yang dilakukan politik. Politik kita itu kan kalau sedang lagi berteman diam, kalau tidak berteman teriak, dan semua partai dan elit hampir pernah melakukan kekeliruan yang sama,” tutupnya.* (Tim FORUM KEADILAN)