Desakan Reformasi TNI Imbas Penganiayaan Oknum Paspampres

Ilustrasi pemerasan.
Ilustrasi pemerasan

FORUM KEADILAN – Imam Masykur, pemuda asal Aceh yang merantau ke Jakarta tewas setelah diculik oleh oknum Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) dengan motif memeras uang korban.

Masykur merupakan seorang penjaga toko kosmetik yang bertempat di bilangan Rempoa, Tangerang Selatan.

Bacaan Lainnya

Dua minggu sebelumnya, Masykur pernah diculik untuk pertama kalinya dan pihak keluarga dimintai tebusan sebesar Rp13 juta. Pada penangkapan keduanya, pihak keluarga tidak bisa mengabulkan permintaan penculik untuk menebus sebesar Rp50 juta.

Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani, menyebut kematian Masykur adalah satu dari ribuan kasus yang tidak muncul ke permukaan. Menurutnya, mekanisme informal selalu digunakan sebagai salah satu cara agar penyelesaian kasus cepat selesai dan tidak tercatat dalam mekanisme formil.

Julius menyebut impunitas atau kebal hukum terhadap anggota militer yang terbukti bersalah masih marak terjadi pada tubuh institusi TNI, apalagi selama ini TNI tidak pernah mau mereformasi institusionalnya melalui peradilan umum.

“Impunitas terjadi karena tidak ada proses peradilan yang terbuka di lingkup peradilan umum,” ucap Julius kepada Forum Keadilan, Senin, 28/8/2023.

Hari ini, Senin (28/8), Melalui Kepala Pusat Penerangan TNI Laksda Juliuis Widjojojo, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyebut pelaku harus dihukum berat dengan maksimal hukuman mati, minimal hukuman seumur hidup.

Menanggapi pernyataan Panglima TNI, Ketua PBHI mengungkap bahwa respons seperti ini hanya persoalan teknis yang tidak ada dampak perubahan yang signifikan dan tidak memberikan efek jera terhadap anggota yang lain.

Kasus-kasus seperti ini juga menegaskan lemahnya pengawasan dari Kementrian Pertahanan dan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) yang tidak mampu melihat persoalan anggota TNI yang bermasalah.

“Artinya apa, mulai dari Menhan (Prabowo Subianto), Menko Polhukam (Mahfud MD) sudah tidak mampu lagi mengemban tugas negara untuk memperbaiki sistem dan menjaga marwah moralitas institusi TNI. Ini yang bahaya,” tutur Julius

Brutalitas TNI pada Masyarakat Sipil

Berdasarkan pemantauan KontraS selama Oktober 2020 – September 2021, KontraS menemukan 54 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota TNI.

Bentuk kekerasan yang dominan ialah penganiayaan sejumlah 31 peristiwa, penembakan 9 peristiwa, penyiksaan dan intimidasi sebanyak 6 peristiwa. kemudian tindakan tidak manusiawi sebanyak 5 peristiwa, penculikan 2 peristiwa, dan penangkapan sewenang-wenang 1 peristiwa.

KontraS juga mendokumentasikan sepanjang bulan Mei 2022 – Juni 2023, terdapat 10 kasus atau peristiwa yang menunjukan tren penyiksaan yang dilakukan aparat militer.

Sebelumnya pada tahun 2020 terjadi kasus pembunuhan Luther dan Apinus Zanambani di Papua. Kasus ini berawal pada 21 April yang saat itu anggota TNI melakukan penyisiran (sweeping) untuk melakukan pemeriksaan dan pemenuhan protokol kesehatan Covid-19.

Pada pemeriksaan tersebut, TNI menangkap tiga orang yaitu Luther dan Apinus Zanambani dan 1 orang yang setelahnya dibebaskan. Setelah penangkapan, mereka berdua dinyatakan hilang.

Terungkap bahwa anggota TNI melakukan penculikan disertai dengan penyiksaan terhadap kedua korban hingga meninggal dunia. Untuk menutupi kasus tersebut, jenazah Apinus dan Luther dibakar dan abu mereka dibuang di sungai Julai, Distrik Sugapa.

“Hal ini yang pada akhirnya masih menunjukkan bahwa ada kultur yang bermuara pada bentuk-bentuk tindakan eksesif yang berujung pada kekerasan,” ucap Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya kepada Forum Keadilan, Senin, 28/8/2023.

Selain kasus penghilangan paksa di Papua, KontraS mencatat banyak kasus-kasus serupa lainnya.

Mulai dari pembunuhan terhadap Pendeta Zanambani, kasus mutilasi 4 warga sipil Papua atas tuduhan mengikuti gerakan separatis walaupun tidak terbukti dan terakhir yaitu peristiwa di masa lalu atas penculikan terhadap Aristoteles Mashoka dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay, salah satu tokoh Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang terjadi pada 10 November 2001.

Dimas menyesalkan keberulangan tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI yang mana merupakan aktor pertahanan negara yang akhirnya bermuara terhadap kekerasan yang ada di masyarakat. Menurut Dimas, ini harus menjadi titik tolak pemerintah dan juga institusi TNI untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh.

Terbitkan Perppu Peradilan Militer

Reformasi peradilan militer ialah salah satu mandat reformasi yang belum terpenuhi. Hal ini tertuang pada TAP MPR VII Tahun 2000 dan mandat UU 34 Tahun 2004 tentang TNI. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (RSK) menilai tidak ada alasan bagi Presiden dan DPR untuk tidak melakukan pembahasan revisi UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

“Presiden dan DPR tidak boleh diam apalagi takut untuk melakukan agenda reformasi peradilan militer. Presiden dan DPR jangan lari dari tanggung jawab konstitusionalnya untuk melakukan penegakan prinsip negara hukum yang mengharuskan adanya asas persamaan di hadapan hukum,” tulis Koalisi RSK

Dimas pun khawatir apabila proses hukum terhadap anggota Paspampres yang melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap salah satu warga Aceh dilakukan melalui mekanisme pengadilan militer.

Kasus yang tersebut, ucap Dimas, tergolong dalam tindak pidana sipil sehingga tidak tepat kalau oknum ini diadili di peradilan militer. Menurutnya, ini menjadi ranah penegakan hukum di Pengadilan Negeri.

“(Peradilan sipil) akan lebih transparan dan akuntabel serta tidak berporos pada eksklusivitas di tubuh peradilan militer itu sendiri,” ucap Dimas

Di sisi lain, Julius juga menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo harus mengeluarkan Perppu (Peraturan Pengganti Undang-Undang) untuk mereformasi peradilan militer.

Dia menyoroti bahwa peradilan militer merupakan satu-satunya peradilan yang tidak pernah tersentuh untuk direformasi setelah Indonesia memasuki tahun ke 25 reformasi.

“Presiden Jokowi harus mengeluarkan Perppu untuk reformasi Peradilan Militer. Kuncinya di situ,” tegasnya.

“Kalau tidak, setiap hari kita akan mendengar kasus-kasus seperti ini tanpa ada perubahan sama sekali. Dan hanya berujung pada penindakan tegas karena viral, ini tidak akan menimbulkan efek jera dan impunitas akan terus terjadi,” tutup Julius.*

 

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait