FORUM KEADILAN – Pada akhirnya Ferdy Sambo berhasil lolos dari hukuman mati. Sikap Mahkamah Agung (MA) yang menganulir hukumannya, membuat sesak hati keluarga Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
MA menolak permohonan kasasi Ferdy Sambo dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir Yosua dengan putusan tolak perbaikan. Dalam putusannya, majelis hakim mengganti vonis mati Sambo menjadi pidana penjara seumur hidup.
“Kami sebagai keluarga dan pengacara hukum kecewa terhadap putusan yang dibuat para hakim agung tersebut. Sangat tidak memenuhi rasa keadilan,” ujar Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Yosua, Ramos Hutabarat kepada Forum Keadilan, Rabu, 9/8/2023.
Keluarga Yosua, lanjut Ramos, tidak menyangka kalau hakim agung akan membuat keputusan seperti itu.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Yosua lainnya, Martin Lukas Simanjuntak. Martin memandang, sidang putusan kasasi itu tidak dilakukan secara transparan.
Harusnya, kata Martin, MA mengumumkan jadwal pembacaan putusan baik melalui media, atau secara khusus kepada keluarga korban.
“Pada saat di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi semua transparan. Bahkan, kita bisa mengikuti dan mendengarkan putusannya. Nah, di putusan kasasi ini tidak ada,” kata Martin kepada Forum Keadilan.
Ia menilai, sikap MA berlawanan dengan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta kasus tewasnya Yosua diproses secara terbuka.
Seperti diketahui, dalam kasus ini pengurangan hukuman tidak cuma diberikan kepada Sambo, melainkan kepada tiga pelaku pembunuhan Yosua lainnya.
Istri Sambo, Putri Candrawati mendapat diskon 50 persen di putusan kasasi. Dari 20 tahun, menjadi 10 tahun. Martin memandang, Putri merupakan pemicu terjadinya tindak pidana.
“Dia aktor intelektual. Niat jahat (mens rea) di awal yang jadi pemicu, itu dia yang tularkan kepada Sambo. Ketika dia divonis 10 tahun, ini tentu memprihatinkan,” ungkapnya.
Kini, keluarga Yosua hanya bisa pasrah menerima putusan inkrah. Sebab, kata Martin, sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui Nomor 20/PUU-XXI/2023 telah mengeliminasi kewenangan jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).
“Sekarang ketika sudah divonis, maka hak korban dan kewajiban dan juga kewajiban negara sudah selesai dalam perkara ini,” bebernya.
MA juga membenarkan hal itu. Kepala Biro Humas MA Dr Sobandi mengatakan, PK berdasarkan hukum acara hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Ia juga mengaku bahwa MA sebenarnya sadar akan pro kontra yang ditimbulkan dari putusan kasasi itu.
“Kami sadari itu. Jadi, ada yang puas maupun yang tidak. Masyarakat mengatakan bahwa itu menyunat putusan, itu hak masyarakat. Tetapi perlu saya sampaikan bahwa ada juga putusan-putusan kasasi MA yang memberatkan hukuman,” kata Sobandi kepada Forum Keadilan, 9/8.
Ia menjabarkan, putusan kasasi MA terbagi menjadi tiga, yaitu kabul, tolak, dan tolak perbaikan. Kasus Sambo bukan lah satu-satunya kasus yang menerima tolak perbaikan.
Sebelumnya, kasus Indosurya juga putusan kasasinya tolak perbaikan, dan para terpidana mendapat hukuman lebih berat. Tolak perbaikan sendiri diatur di Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
“Sebagaimana konstitusi UUD 1945. Konstitusi kita menjamin bahwa kekuasaan kehakiman itu kekuasaan yang merdeka,” tandasnya.*
LaporanĀ Charlie Adolf Lumban Tobing