FORUM KEADILAN – “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,”
Demikian Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 memandatkan tanggungjawab negara bagi keberlangsungan sistem pendidikan.
Fakta di lapangan, payung atau landasan hukum seringkali hanya dimaknai sebagai rangkaian teks tulisan yang tak berimplikasi pada pihak-pihak yang mencoba mengabaikan, bahkan menabraknya.
Dinamika inilah yang sedang terjadi di SMAN 1 Kedungwaru, Tulungagung, Jawa Timur. Pendidikan yang sejatinya menjadi hak dasar warga negara, justru dipersulit dengan komersialisasi yang kerap dilakukan oleh oknum guru menjelang tahun ajaran baru.
Tahun ajaran baru seringkali dimaknai sebagai masa panen mengeruk keuntungan dari orang tua murid melalui berbagai cara. Salah satu yang paling populer adalah paket seragam sekolah yang harganya membuat orang tua mengelus dada.
Sebuah foto yang viral di media sosial, memperlihatkan biaya pembelian paket seragam dan atribut sekolah di SMAN 1 Kedungwaru mencapai Rp2,3 juta. Padahal dalam sejumlah item, daftar tersebut masih berupa kain yang perlu dijahit menjadi seragam.
Rinciannya, siswa mendapatkan satu setel seragam putih abu-abu Rp359.400, satu setel seragam Pramuka Rp315.850, dan satu setel seragam khas Rp440.550. Kemudian, satu jas almamater Rp185.000, kaos dan celana olahraga Rp130.000, ikat pinggang Rp36.000, satu tas Rp210.000, satu paket atribut Rp140.000, dan jilbab Rp160.000.
Para orang tua siswa bahkan harus merogoh kocek Rp383.200 hanya untuk 1 setel kain seragam batik. Harga yang hampir setara untuk satu kemeja batik ternama, Batik Keris seharga Rp513.000.
Hal ini tentu memberatkan lantaran Upah Minimum Kota (UMK) Kabupaten Tulungagung yang sebesar Rp2.229.358. Artinya, upah satu bulan dalam Kabupaten tersebut bahkan tak mampu melunasi uang seragam yang sudah ditetapkan sekolah.
Pihak sekolah berdalih tak mewajibkan pembelian seragam, hanya memfasilitasi siswa baru agar lebih mudah mendapatkan paket seragam yang akan digunakan melalui koperasi sekolah.
Menanggapi fenomena tersebut, Komisioner Kluster Pendidikan KPAI Aris Adi Leksono mengatakan sekolah yang melakukan hal tersebut melanggar pelanggaran Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pasal 13 yaitu sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dana atau membebani kepada orang tua atau Wali Peserta Didik untuk membeli pakaian seragam.
“Sudah jelas ada larangannya. Apalagi tentu larangan itu ada dasarnya, agar orang tua siswa tidak terlalu terbebani dengan biaya pendidikan atau hal-hal pokok di dalam biaya pendidikan,” ungkap Aris kepada Forum Keadilan pada Kamis, 27/7/2023.
Aris mendesak Ditjen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk bertanggungjawab dalam mengawasi regulasi tersebut.
Sebagai mitra kerja Kemendikbud Ristek, Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf menganggap perlu adanya tambahan anggaran agar tidak terjadi pungutan-pungutan yang memberatkan calon orang tua siswa dalam hal pendidikan anak.
“Makanya perlu ada peningkatan dari biaya yang dikeluarkan dari APBN untuk mencover biaya pembelajaran pendidikan dasar tadi. Selama ini 20 persen sudah ada namun kenyataannya hanya kurang lebih 1/8 nya yg dikelola Kemendikbud. Sisanya ke daerah. Sistem pembagian ini yg menjadi kesulitan mengelola kebutuhan pendididkan,” ucapnya kepada Forum Keadilan pada Kamis, 27/7.
Pengamat Kebijakan Publik IDP-LP, Riko Noviantoro mengkritik habis-habisan pengawas sekolah di pemerintahan daerah yang seakan tutup mata hingga kejadian ini viral di media sosial.
“Di pemerintah daerah ada pengawas sekolah, kenapa pada diam saja? Ada komite sekolah, harus melakukan pengawasan, kenapa bisa dipaksakan (kebijakan harga seragam)?” ungkap Riko kepada Forum Keadilan pada Kamis, 27/7.
Ia kembali menambahkan praktik pembelian seragam seyogyanya merupakan penyimpangan-penyimpangan dari peraturan kemendikbud.
“Banyak yang mengira peraturan kemendikbud yang salah, padahal itu sifatnya mengatur saja. Kan ada siswa itu dipaksa menggunakan jilbab, nah itu adalah historis dibuatnya peraturan Kemendikbud. Namun itu terjadi penyimpangan, jika ada pembelian baju seragam,” imbuhnya.
Seakan menyeret orang tua dalam konflik kepentingan tertentu dengan menanggung biaya seragam yang hampir setara dengan UMK per bulan Kabupaten Tulungagung, Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Dr Ida Ruwaida Noor mengatakan ini bentuk komersialisasi dalam pendidikan.
Sejatinya, hal ini bukanlah hal yang baru. Selain seragam, orang tua juga kerap diberatkan dengan uang buku-buku pelajaran hingga uang pembangunan sekolah. Ida pun melihat sebagian kalangan masih melihat pendidikan sebagai sebuah komoditi.
“Sudah lama terjadi komersialisasi pendidikan, di berbagai aspek termasuk buku, seragam, les-les, dan lainnya. Bahkan beberapa tahun lalu, sempat ada indikasi terjadi kastanisasi pendidikan pada sekolah-sekolah negeri dengan adanya sekolah standar nasional dan standar internasional,” ungkapnya.
Aris Adi Leksono, Dede Yusuf dan Ida Ruwaida sepakat jika dinas pendidikan menjadi pihak yang harus bertanggungjawab dalam permasalahan ini.
Dede bahkan berpendapat jika dinas pendidikan harus memberikan teguran atau sanksi terhadap sekolah yang melakukan praktik tersebut.
“Fungsi kontrol tentunya pada Dinas Pendidikan dan forum atau masyarakat pendidikan yang terdiri dari berbagai stakeholders. Untuk sekolah, komite sekolah yang seharusnya bisa menjadi lembaga kontrol yang bisa mewakili berbagai kepentingan orang tua. Bukan hal aneh, antara kebijakan dan implementasi tidak sinkron, tidak hanya pada pendidikan,” ungkap Ida.
Diketahui, buntut kasus tersebut, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur resmi mencopot Pelaksana Tugas (Plt) Kepala SMAN 1 Kedungwaru, Norhadin.
Kepala Disdik Jatim Aries Agung Paewai mengatakan Norhadin dinonaktifkan setelah pihaknya menerjunkan tim untuk mendalami permasalahan tersebut.
“Dari hasil tersebut, ada identifikasi kesalahan SOP yang tidak dipatuhi sekolah. Alhasil, jabatan Plt Kepala SMAN 1 Kedungwaru Tulungagung, Norhadin resmi dinonaktifkan sementara,” kata Aries, melalui keterangannya, Rabu, 26/7.
Agar kasus serupa tidak terjadi kembali, Disdik Jatim akan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap tingkat kepatuhan masing-masing satuan pendidikan.
Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak pun merespons temuan mahalnya harga seragam di SMAN 1 Kedungwaru. Ia meminta dinas pendidikan untuk membuat surat edaran ke masing-masing sekolah SMA/SMK menyikapi kasus tersebut.
“Surat edaran sedang disiapkan oleh dinas pendidikan, kalau pakta integritas komite dan kepala sekolah sudah ditandatangani dan disaksikan oleh Ibu Gubernur,” tegas Emil pada Minggu, 23/7.*