FORUM KEADILAN – Penembakan antara anggota polisi kembali terulang. Penembakan ini terjadi antara anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto menyoroti masalah satuan khusus yang tidak berada di struktur Polri.
“Ini jadi problem juga, kenapa Densus 88 tidak di struktur Polri, tidak di bawah Brimob,” ucapnya saat dihubungi Forum Keadilan, Jumat, 28/7/2023.
Menurutnya penanggulangan terorisme adalah otoritas dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Semakin besar peran Densus, peran BNPT menjadi tidak ada, tidak berfungsi,” lanjutnya.
Bambang juga mengatakan bahwa di Brimob sendiri sudah memiliki unit penindakan untuk anti-teror.
Selain masalah tersebut, Bambang juga menggarisbawahi peran Densus 88 di kondisi keamanan kondusif. Dia mempertanyakan keberadaan Densus 88 ketika tidak ada tugas khusus dalam menangani kerawanan berat.
“Mereka yang mempunyai spesifikasi yang tinggi tapi tidak ada tugas khusus dalam menangani kerawanan berat dampaknya seperti ini, mereka jadi arogan,” ujarnya.
Ketika ditanyai tentang revisi kebijakan kepemilikan senjata api Polri, Bambang melihat aturan ini baru direvisi jadi tidak diperlukan adanya revisi kembali.
“Aturan baru diketuk (direvisi) tahun kemarin, 2022 kemarin, yang berkaitan dengan senjata api organik dan non-organik,” ucapnya.
Peraturan yang dimaksud ialah Peraturan Kepolisian No.1/2022 Tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Senjata Api Non Organik Kepolisian Negara Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api.
Perizinan Senjata Api Organik Polri dilakukan terhadap Senjata Api Organik Polri yang digunakan oleh anggota Polri dalam pelaksanaan tugas Polri.
Pada pasal 8 Perpol 01/2022 berisi persyaratan penggunaan senjata api. Pertama, memiliki surat rekomendasi dari atasan langsung, kedua memiliki surat keterangan lulus tes psikologi Polri, dan ketiga memiliki surat keterangan sehat dari dokter Polri.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti memiliki pendapat senada. Menurutnya tidak ada kesalahan dalam regulasi tersebut.
“Saya lihat yang paling penting justru disiplin melaksanakan aturan penggunaan senjata api,” ucapnya saat dihubungi Forum Keadilan.
Sebagai lembaga negara yang bertugas membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri, Kompolnas mendorong Polri untuk mengambil adanya tindakan tegas bagi yang bersalah karena ada jatuhnya korban jiwa.
“Kami mendorong adanya tindakan tegas bagi yang bersalah, yaitu diproses pidana sekaligus etik, karena jatuhnya korban jiwa diduga merupakan tindak pidana serta merupakan pelanggaran kode etik,” tulis Poengky.
Sampai saat ini, kata Poengky, Kompolnas masih menunggu hasil penyelidikan dan penyidikan Polri. Poengky melihat perlunya berhati-hati dalam penggunaan senjata api, termasuk penyimpanannya.
“Karena jika tidak berhati-hati akan rawan melukai orang lain, bahkan bisa berakibat hilangnya nyawa,” tuturnya.
Sementara, Anggota Komisi III DPR RI Santoso melihat tidak ada keterkaitan antara regulasi dengan kejadian tersebut. Menurutnya ini murni kelalaian anggota Densus 88.
“Bukan, mereka yang memegang senjata itu kan yang ditempatkan di satuan mana terus dilatih supaya penggunaan SOP nya benar, mulai dari memasukkan peluru, membersihkan, menembak orang saja ada SOP nya, nggak bisa sembarangan, orang kita ini disiplinnya cuma kalau ke toilet, SOP nya pasti ada kan. Intinya terlalu meremehkan kebiasaan orang Indonesia itu,” tandasnya ketika dihubungi Forum Keadilan.
Anggota Densus 88 berinisial Bripda IDF tewas setelah tertembak rekannya, Bripda IMS dan Bripka IG. Bripda IDF merupakan anggota junior dari pelaku.
Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengatasi terorisme di Indonesia. Satuan ini terbentuk setelah peristiwa Bom Bali 2022, yang kemudian baru mulai beroperasi sejak 2003.* (Tim FORUM KEADILAN)