DPR: Sistem Zonasi Gagal Harus Dirubah

Interaksi guru dan murid | ist.

FORUM KEADILAN – Tahun ajaran baru sudah dimulai. Sayangnya sengkarut permasalahan pendaftaran sekolah masih menjadi momok menakutkan bagi orang tua dan murid, khususnya berkenaan dengan sistem zonasi.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf pun angkat bicara.

Bacaan Lainnya

Menurut Dede, sistem zonasi telah menimbulkan banyak masalah alias gagal.

“Itu namanya bentuk kegagalan sebuah sistem yang menyebabkan siswa-siswa terlalu memilih ke satu dua sekolah, sementara yang lainnya menjadi kosong artinya gagal sistem zonasi itu sebenarnya direncanakan untuk pemerataan, namun pada kenyataannya malah menjadi gagal,” katanya kepada Forum Keadilan, Selasa, 18/7/2023.

Sebagai mitra kerja dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Republik Indonesia, Dede mengaku Komisi X DPR RI telah memberikan saran untuk dilakukan perbaikan pada sistem pendaftaran zonasi.

“Kemarin itu kita sudah memberikan saran, kita memberikan waktu sampai bulan Oktober ini, agar dibuat sebuah temuan-temuan, yang bekerja sama dengan Ombudsman. Jadi intinya adalah kalau setiap tahun permasalahan ini terjadi dan beberapa Kepala Daerah juga sudah menemukan bukti-bukti, laporan-laporan, media juga susah menulis (berita) bahkan ada kecenderungan kuota tinggi tapi sekolah malah banyak yang tidak mendapatkan (siswa) artinya ada sistem yang salah,” ujarnya.

Komisi X menurut Dede sesungguhnya telah bertemu dengan pihak Kemendikbud untuk membedah masalah sistem pendaftaran zonasi, dan meminta adanya perubahan sistem.

“Kebetulan menterinya lagi cuti jadi dihadiri oleh sekjen dan jajaran dirjennya, kami mengatakan minta diubah segera, tapi, Kemendikbud mengatakan ini sudah on going, sudah berjalan, sehingga perlu waktu untuk melakukan perubahan karena semuanya sudah mendaftar dan kami minta dikuatkan Satgas PPDB bersama dengan Ombudsman terutama di daerah-daerah untuk melakukan fungsi pemantauan dan pengecekan atas penyimpangan-penyimpang, termasuk memberikan sanksi kepada pejabat-pejabat yang berwenang yang mana justru menjadikan PPDB ini banyak masalah, seperti minta uang, titipan dan sebagainya,” ungkapnya.

Politisi Fraksi Demokrat tersebut menekankan telah memberikan batas waktu kepada Kemendikbud untuk membuktikan tidak perlu adanya perubahan sistem.

“Nah, ini kita berikan waktu sampai Oktober untuk melaporkan kembali kepada kami, namun jika ternyata tidak ada perubahan dilakukan sebuah katakan lah strategi, maka kita akan minta segera membuat sistem baru yang lebih mengedepankan azas dan hak ke testing, jadi kembali kepada sistem ‘Nem’, namun testing-nya itu hanya buat yang pendaftar-pendaftar yang non-zonasi, jadi zonasi itu masih tetap ada, ya zonasi bisa berkurang lah menjadi 20%, lalu ada sistem prestasi, itu ada non-akademik,” jelasnya.

Sedangkan jika ada perubahan sistem, DPR RI mengajukan pengembalian sistem pendaftaran sekolah seperti sebelumnya yang mana melalui tes.

“Tapi kita lihat saja apabila bulan Oktober ini belum ditemukan sistem baru, maka pun dari Komisi I bisa membuat  PPDB agar dikawal supaya di tahun 2024 tidak terulang kembali masalah-masalah serupa ini,” ucapnya.

Dikatakan, zonasi fungsi utamanya adalah bahwa setiap warga memiliki hak yang sama untuk masuk di sekolah, agar jarak kas transportasi tidak memberatkan orang tua, dengan konsekuensi setiap kecamatan harus memiliki sekolah negeri.

Selain pengembalian sistem, DPR RI juga memberikan saran lain, yaitu siswa-siswa yang diterima di negeri untuk pendidikan dasar sampai menengah menjadi tanggung jawab pemerintah.

“Ia boleh bersekolah di swasta tapi dibiayai oleh negara, itu opsi yang lebih kuat lagi, tetapi nanti ujung-ujungnya adalah kemampuan anggaran negara harus siap artinya harus ada cost-cost dari infrastruktur, ataupun juga pembangunan-pembangunan jalan tol, termasuk IKN itu. Nah itu yang harus ditarik untuk menaikkan perbaikan pendidikan,” tuturnya.

Sedangkan terkait pendaftaran sekolah yang mendahulukan siswa dengan batas usia tertentu, Dede Yusuf mengungkapkan hal tersebut sebenarnya bertujuan baik. Hal ini dilakukan untuk mendahulukan anak-anak agar tidak putus sekolah terutama untuk siswa yang usianya sudah melewati batas minimal pendaftaran.

Namun Dede mengakui peraturan ini justru membuat anak-anak menunda sekolah setahun sampai dua tahun demi masuk ke sekolah yang diinginkan.

“Nah padahal kalau kita lihat siswa-siswa yang usianya sudah kelewat itu tidak perlu dipaksakan di sekolah itu karenakan sudah ada PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) dan disamakan, nilainya yang disamakan dulu. Jadi jangan memaksakan juga siswa-siswa yang sudah tua, yang sudah 18 tahun, 17 tahun dimasukkan ke SMK yang usianya rata-ratanya baru 16 tahun,” tambahnya.

Dede juga menyebut ada dampak psikologis sosial lantaran siswa yang lebih tua cenderung mendominasi siswa dengan usia di bawahnya.

Berfungsi untuk mengoreksi dan memberikan pengawasan kepada pemerintah dan juga Kemendikbud, Dede justru mempertanyakan seberapa jauh Satgas PPDB bekerja di lapangan sampai masalah sistem pendaftaran masih menjadi momok yang selalu terjadi setiap tahun.

“Jadi tugas yang dimandatkan itu tidak lagi kepada satgas yang sifatnya hanya kepala dinas, tetapi satgas itu dibentuk bersama dengan lembaga Ombudsman. Ombudsman itu memberikan temuan-temuan dan akan dilaporkan agar diberikan sanksi administratif kepada guru, pejabat-pejabat yang terkait, yang tentu sanksi pemberhentian atau pencabutan nama siswa yang ternyata memang melakukan kecurangan-kecurangan yang merubah KK (Kartu Keluarga), memaksakan usia dan sebagainya,” pungkasnya.* (Tim FORUM KEADILAN)

Pos terkait