FORUM KEADILAN – Seorang siswi kelas 2 di SDN Jomin Barat II, Cikampek, Jawa Barat menjadi korban bullying yang dilakukan oleh murid, guru dan kepala sekolah.
Penyebabnya, siswa berinisial B datang dari keluarga penganut penghayat kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Pihak sekolah bahkan memaksa dan mewajibkan B untuk mengenakan jilbab di sekolah.
Menyikapi kejadian tersebut, Komisioner Kluster Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono menyayangkan kejadian perundungan yang terjadi karena perbedaan agama tersebut.
“Ya memang dalam hal toleransi KPAI juga memberikan perhatian, dalam UU perlindungan anak juga tercantum bahwa setiap anak itu dijamin dalam menjalankan kebebasan ajaran agama atau aliran kepercayaan yang diyakini. Bahkan satuan pendidikan juga perlu memberikan layanan khusus terkait agama yang dianut oleh peserta didik,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin 10/7/2023.
Aris melanjutkan pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Irjen Kemendikbud serta lembaga terkait, bahkan sudah ada tindakan pendisiplinan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam kasus bully tersebut.
Senada dengan Aris, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Pramono Ubaid Tanthowi menyebut pemaksaan dalam beragama berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Setiap pemeluk agama memiliki kebebasan sebagaiman ajaran agama dan keyakinan masing-masing. Tidak boleh anak murid penganut kepercayaan lalu dipaksa untuk mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan agama dan keyakitan. Itu berpotensi melanggar HAM,” ucap Pramono ketika ditemui langsung Forum Keadilan di Kantor Komnas HAM, Senin, 10/7/2023.
Dalam merespons kasus tersebut, Direktur Eksekutif SETARA Institute mengatakan, tidak ada pilihan lain bagi negara selain memberikan hak sepenuhnya kepada korban B dan keluarganya. Dalam konstitusi UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan, terutama pada Pasal 28E Ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 Ayat (2).
“Korban dan keluarganya jelas merupakan pihak yang mesti dilindungi oleh negara mengenai hak-haknya. Kami mengutuk keras perundungan dan tindakan-tindakan destruktif, baik secara fisik maupun psikis yang menimpa siswi tersebut karena keyakinan yang dianutnya,” kata Halili kepada Forum Keadilan saat dihubungi via telepon, Senin, 10/7/2023.
Kuasa hukum keluarga siswi B, Ratya Mardika Tata Koesoema, mengatakan kasus perundungan sudah ditangani oleh Inspektorat Jenderal (Injen) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk diselidiki.
Hal itu diungkapkan Ratya Mardika melalui akun YouTube Ki Hajar Soerjanata yang diunggah, Kamis, 6/7.
“Nama saya Ratya Mardika Tata Koesoema, Ketua Bidang Advokasi, Pembelaan, dan Pendampingan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK). Saya juga Advokat, Konsultan Hukum, dan Pengacara yang telah ditunjuk secara langsung orang tua B, sebagai Kuasa Hukumnya sejak tanggal 28 Juni 2023,” ujarnya.
Ratya juga melanjutkan bahwa bukti-bukti telah dikumpulkan oleh pihaknya. Dari mulai komentar dan percakapan di media sosial, baik di Whatsapp Group maupun Facebook.
Kebebasan beragama sejatinya adalah non-derogable rights atau hak-hak yang tercakup dalam hak sipil dan politik yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun.
Dikutip dari laman Kemenkumham.go.id, negara bahkan tidak bisa melarang aliran atau agama apapun yang masuk dan berkembang di Indonesia sepanjang sesuai dengan prinsip Ketuhanan yang Maha Esa dan tidak menyinggung prinsip dan kepercayaan umat agama lainnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly saat menjadi pembicara kunci di webinar internasional bertajuk Artikel 18 Deklarasi Universal HAM dalam Perspektif Negara dan Agama, Selasa, 21/12/2022 lalu.
Pasal 18 Deklarasi Universal HAM menyatakan setiap orang berhak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hal ini, menurut Yasonna, selaras dengan UUD NRI 1945 yang menempatkan HAM dalam porsi yang cukup signifikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28A sampai 28J.
“Pasal 28E ayat satu menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat dua UUD NRI 1945, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” ucap Yasonna secara virtual dari ruang kerjanya, di Jakarta.
Menurut Menkumham, tujuan pembentukan negara adalah untuk melindungi hak warga negara dan memenuhi kepentingan seluruh rakyatnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, salah satu tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, tentu saja tanpa diskriminasi, baik berdasarkan suku, bahasa, maupun agama.
“Oleh karena itu, menjadi salah satu tugas negara untuk melindungi hak kebebasan setiap orang dalam beragama dan beribadat,” tandas Yasonna.
Menyoal Penghayat Kepercayaan, Dirjen Dukcapil Prof. Zudan Arif Fakrulloh sempat merespons polemik mengenai hal tersebut. Ia menyebut Penghayat Kepercayaan telah diakui secara sah oleh negara.
“Penghayat kepercayaan diakui secara sah oleh negara melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tertuang dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2),” kata Zudan di Jakarta pada Senin, 25/2/2019 lalu.
Selain itu, Zudan lebih jauh menjelaskan, penghayat kepercayaan juga telah diakui dalam Undang-Undang Adminduk yaitu UU No. 23 Tahun 2006 dan UU No. 24 Tahun 2013.
“Pasal 61 dan Pasal 64 secara tegas menyatakan bahwa bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan, elemen datanya tidak dicantumkan dalam kolom KTP-el atau KK, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan,” ujarnya memperjelas.
Ketentuan Pasal 61 dan Pasal 64 ini kemudian dianulir atau dibatalkan melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017 yang selanjutnya ditindaklanjuti melalui Permendagri Nomor. 118 Tahun 2017 Tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
Dalam amar putusannya, MK mengabulkan seluruh permohonan para pemohon dari Penghayat Kepercayaan terkait pencantuman kolom kepercayaan dalam dokumen kependudukan, termasuk KTP-el dan KK.*(Tim Forum Keadilan)