Modus Korupsi Tata Niaga Minyak Mentah, Ron 90 Dioplos Jadi Pertamax

Dari tujuh tersangka, empat diantaranya adalah Direktur Sub Holding Pertamina. Sementara tiga tersangka lainnya dari broker swasta. Korupsi ini diperkirakan merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar menjelaskan bahwa berdasarkan penyidikan Kejaksaan, tiga Direktur Sub Holding PT Pertamina sengaja mengkondisikan melalui rapat optimasi hilir untuk dapat menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya.
“Akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor,” kata Qohar di Gedung Kejagung, Senin, 24 Februari 2025.
Penyelenggara tersebut meliputi Direktur Utama Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan Vice President (VP) Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Agus Purwono. Ketika produksi kilang sengaja diturunkan, Sub Holding PT Pertamina ini sengaja ditolak.
Alasan penolakan tersebut dikarenakan produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis. Padahal diketahui, harga yang ditawarkan masih masuk range HPS.
Menurut Qohar, Pertamina juga berdalih spesifikasi minyak mentah yang ditawarkan KKKS tidak sesuai kilang, namun telah sesuai dan dapat diolah.
Bukan hanya Sub holding PT Pertamina yang bermain, tetapi juga pihak KKKS. Penolakan yang dilakukan oleh Pertamina atas tawaran KKKS menjadi dasar persetujuan ekspor broker. Sebab dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 disebutkan bahwa KKKS harus terlebih dahulu menawarkan produksi minyak mentah mereka ke PT Pertamina.
Ketika Pertamina menolak, mereka baru dapat ekspor. Regulasi tersebut mengatur PT Pertamina harus mengutamakan pasokan minyak bumi dalam negeri sebelum memutuskan impor.
PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) mengimpor minyak mentah, sementara PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang.
“Dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi,” ujar Qohar.
Penyidik Kejaksan pun menemukan adanya permufakatan jahat dari impor yang dilakukan oleh keduanya.
Pemufakatan itu melibatkan sejumlah tersangka, yaitu Sani, Riva, Agus, dan tersangka Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi.
Mereka merupakan dari pihak penyelenggara negara. Keempat tersangka itu bekerja sama dengan pihak broker yaitu, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.
Dalam pengadaan impor tersebut, Riva melakukan pengadaan produk kilang dengan membeli Ron 92 (pertamax). Padahal kenyataannya yang dibeli adalah Ron 90 (Pertalite), kualitasnya lebih rendah. Lalu, dilakukan blending di depo untuk menjadi Ron 92.
Qohar menegaskan, hal tersebut jelas tidak diperbolehkan.
Di sisi lain, tersangka Yoki dalam melakukan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Internasional Shipping sengaja di mark up sebesar 13-15%. Hal itu menguntungkan pihak broker yaitu Kerry.
“Nah dampak adanya impor yang mendominasi pemenuhan kebutuhan minyak mentah, harganya menjadi melangit,” ujarnya.*