Rabu, 25 Juni 2025
Menu

Ahli Hukum UGM: Penggunaan Alat Bukti yang Sama di Kasus ‘Daur Ulang’ Harun Masiku Tetap Sah Secara Hukum

Redaksi
Ahli Pidana dari UGM, M Fatahillah Akbar dihadirkan sebagai ahli dalam sidang kasus Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis, 5/6/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Ahli Pidana dari UGM, M Fatahillah Akbar dihadirkan sebagai ahli dalam sidang kasus Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis, 5/6/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menegaskan bahwa penggunaan alat bukti yang sama di kasus ‘daur ulang’ Pergantian Antar Waktu (PAW) Harun Masiku yang telah inkrah dengan terdakwa yang berbeda tetap sah secara hukum.

Hal ini ia sampaikan saat dirinya dihadirkan sebagai ahli oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan terdakwa Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.

Mulanya, jaksa mempertanyakan apakah penggunaan alat bukti yang sama dalam persidangan terhadap terdakwa baru bisa dianggap sebagai bentuk ‘daur ulang’ atau merupakan proses yang sah sesuai hukum pidana.

“Apakah persidangan itu bisa dikatakan seperti daur ulang, atau memang secara proses hukum pidana memang harus seperti itu? Karena perbuatannya sama, alat bukti yang dihadirkan ya tentu sama,” tanya jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis, 5/6/2025.

Menanggapi hal tersebut, Akbar merujuk pada Pasal 142 KUHAP yang mengatur kewenangan penuntut umum untuk memisahkan perkara (splitsing).

Ia menjelaskan bahwa dalam kasus tersebut meskipun proses persidangan dilakukan terpisah, alat bukti yang sama terap dapat digunakan karena menyangkut perbuatan pidana yang serupa.

“Ketika ada tiga orang melakukan perbuatan pidana yang sama, maka untuk ketiga orang tersebut ketika displitsing pun, alat bukti, saksi, dan lain sebagainya dapat diterapkan, digunakan yang sama terhadap ketiga-tiganya,” jawab Akbar.

“Hanya perbedaan saja ketika ada waktu yang berbeda, misalkan satunya sudah inkrah atau tidak,” tambahnya.

Ia mencontohkan sebuah kasus di mana seorang dewasa dan anak-anak melakukan tindak pidana bersama. Karena adanya batas waktu penahanan terhadap anak, maka proses sidangnya harus didahulukan meski bukan pelaku utama.

Putusan terhadap anak tersebut, kata dia, bisa lebih dulu inkrah, namun tidak serta merta mengikat pemeriksaan pelaku utama yang dilakukan kemudian.

“Yang utama karena batas waktu penahanan berbeda. Tapi tetap, pelaku utama harus diperiksa secara objektif dalam persidangan terpisah,” lanjutnya.

Jaksa lantas menanyakan bahwa apa yang telah dilakukan penuntut umum dalam kasus ini telah sesuai dengan hukum yang berlaku.

“Artinya, proses persidangan untuk pembuktian surat dakwaan di persidangan dilakukan oleh penutut umum sudah sesuai dengan hukum acara yang berlaku dan peraturan yang berlaku pun seperti itu,” tanya JPU yang dibenarkan oleh ahli.

Sebagai informasi, dalam kasus ini, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan atau obstruction of justice dan menyuap mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan Rp600 juta agar Harun Masiku bisa menjadi anggota DPR RI Pergantian Antar Waktu (PAW) 2019-2024.

Dalam dakwaan pertama, ia disebut melanggar Pasal 21 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Sedangkan pada dakwaan kedua ia dijerat melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi