Ia menilai KPAI seharusnya fokus pada penyelesaian akar persoalan anak dan remaja, bukan mengoreksi teknis pelaksanaan program darurat.
“Saya kan sudah sampaikan bahwa KPAI harusnya arahnya hari ini bukan mengkoreksi kekurangan dari sebuah kegiatan yang dilakukan, yang itu penanganan darurat dari sebuah problem. Yang harus dilakukan KPAI adalah mengambil langkah untuk menyelesaikan berbagai problem yang dialami oleh anak-anak remaja kita,” kata Dedi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin, 19/5/2025.
Menurut Dedi, ribuan anak di Jawa Barat menghadapi berbagai persoalan, mulai dari masalah di rumah hingga di sekolah yang berujung pada tindakan kriminal. Ia menilai KPAI semestinya turut mengambil peran aktif dalam membina anak-anak tersebut.
“Nah dari jumlah ribuan itu, KPAI ngambil untuk dididik agar masalahnya selesai. Kalau KPAI sibuk terus ngurusin persoalan tempat tidur dan sejenisnya, tidak akan bisa menyelesaikan problem,” ujarnya.
Dedi menyebutkan, program pembinaan yang ia inisiasi telah menunjukkan hasil positif. Ia mencontohkan 39 anak yang telah mengikuti pembinaan di barak militer dan menunjukkan perubahan signifikan dalam sikap dan empati terhadap orang tua.
“Bisa dilihat bagaimana keadaan anak itu, disiplinnya kemudian rasa empatinya, bahkan dia menangis di depan ibunya mencium kakinya. Kan belum tentu itu didapatkan di sekolah,” tutur Dedi.
Ia menambahkan, sebanyak 273 anak akan segera lulus dari program pembinaan di Dodik Lembang. Jumlah ini akan terus bertambah, seiring rencana perluasan program yang menargetkan hingga puluhan ribu anak bermasalah dari berbagai kabupaten dan kota di Jawa Barat.
“Nanti mungkin kalau dari 1.000 atau 1.500 atau 2.000 atau 5.000, kalau terkoneksi dengan kabupaten/kota, mungkin 15 ribu sampai 20 ribu yang dikelola oleh kita,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, dalam konferensi pers daring di Jakarta pada Jumat (16/5/2025), menyampaikan bahwa terdapat indikasi pelanggaran prinsip hak anak melalui praktik diskriminatif serta tidak dilibatkannya anak dalam pengambilan keputusan terkait program tersebut.
“Salah satu bentuk pelanggaran terhadap prinsip ini tercermin dari adanya praktik diskriminatif dan tidak dilibatkannya anak dalam proses, yang kemudian menimbulkan stigma negatif seperti label anak nakal atau anak bermasalah terhadap peserta program,” ujarnya.
Maryati menegaskan bahwa pelaksanaan program pendidikan semacam ini harus berpegang pada prinsip dasar pemenuhan hak anak, termasuk prinsip non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang, serta penghargaan atas pendapat anak.
“Prinsip-prinsip tersebut harus menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan yang menyangkut anak, agar mereka mendapat perlakukan sama, kebutuhan mereka menjadi prioritas, dan pendapat mereka didengar,” kata Maryati.*
Laporan Muhammad Reza