FORUM KEADILAN – Sejumlah pengamat hukum dan politik menilai bahwa wacana Forum Purnawirawan TNI soal pemakzulan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka belum memiliki landasan hukum yang kuat dan lebih bersifat manuver politik. Wacana ini juga dipandang hampir mustahil terealisasi karena hambatan konstitusional dan peta politik di parlemen yang tidak mendukung.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menilai bahwa usulan para Pensiunan Jenderal TNI belum memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menduga bahwa wacana ini bukanlah langkah serius, melainkan sebuah langkah politik agar pemberitaan media terarah kepada putera sulung Presiden Joko Widodo.
“Permintaan itu belum memiliki dasar hukum yang solid. Argumen-argumen yang dikemukakan juga secara hukum tidak cukup kuat,” ujar Yance saat dihubungi Forum Keadilan, Senin, 28/4/2025.
Ia lantas membeberkan mekanisme pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden yang tertuang dalam konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal tersebut memuat ketentuan bahwa pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jika terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wapres.
DPR kemudian melaksanakan fungsi pengawasan dengan memulai hak angket ataupun langsung pada hak untuk menyatakan pendapat. Setelahnya, usulan DPR tersebut harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diperiksa, diadili dan diputus bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dalam Pasal 7A UUD 1945.
Namun, permintaan DPR kepada MK harus mendapat dukungan paling minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna.
Apabila MK menyatakan bahwa dugaan dari DPR terbukti bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum, maka putusan MK tersebut dapat menjadi dasar untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menggulirkan sidang pemberhentian wakil presiden.
Jika MPR menyetujui untuk memakzulkan Gibran, maka Prabowo memiliki waktu paling lama 60 hari untuk dapat mengusulkan dua nama calon wakil presiden yang nantinya akan dipilih oleh MPR.
“Jadi kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses itu yang ada di Pasal 7A, kita tidak melihat mana cantelan yang akan dipakai untuk memberhentikan Gibran Rakabuming Raka sampai hari ini,” kata Yance.
Putusan 90/2023 Tak Bisa Jadi Dasar Pemakzulan Gibran
Dalam salah satu poin tuntutan yang digelorakan oleh Forum Purnawirawan TNI, mereka ingin memakzulkan Gibran karena MK dinilai telah melanggar hukum acara MK dan Kekuasaan Kehakiman saat menafsirkan Pasal 169 huruf Q UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Adapun poin tersebut mengacu pada Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menguji Pasal 169 huruf Q tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden. Pasal ini semula hanya mengatur batas usia capres dan cawapres minimal 40 tahun.
Namun setelah perkara ini diputus, terdapat adanya tambahan klausa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum”. Tambahan klausa inilah yang menjadi ‘Golden Ticket’ bagi Gibran untuk maju sebagai calon Wakil Presiden Prabowo Subianto pada pemilu sebelumnya.
Selain itu, Putusan 90 juga membuat Anwar Usman kehilangan jabatannya sebagai Ketua MK karena melakukan pelanggaran etik berat.
Yance menyinggung soal dugaan manipulasi dalam proses pencalonan Gibran. Menurutnya, pelanggaran etik dalam tahapan pencalonan bisa menjadi dasar impeachment, terutama jika terbukti adanya manipulasi yang melibatkan kekuasaan eksekutif.
“Jika ada bukti kuat bahwa proses pencalonan Gibran melibatkan manipulasi, ini bisa dikategorikan sebagai perbuatan tercela dan dasar bahwa Gibran sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai wakil presiden,” kata Yance.
Dirinya menyebut, ada dua jalur hukum yang dapat ditempuh untuk membuktikan pelanggaran tersebut. Pertama, melalui DPR dengan pembentukan Panitia Angket untuk melakukan penyelidikan. Kedua, melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menerima pencalonan Gibran.
Kedua cara ini pernah diupayakan PDI Perjuangan paska MK memutus sengketa Pilpres. Pada saat itu bergulir kencang wacana hak angket namun kandas di tengah jalan. Selain itu, PDI Perjuangan juga pernah menggugat pencalonan Gibran ke Pengadilan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun majelis hakim tidak menerima permohonan tersebut.
Oleh karena itu, kata dia, apabila Forum Pensiunan TNI tersebut serius untuk memakzulkan Gibran dari jabatannya, maka mereka harus melakukan langkah-langkah yang pernah dilakukan oleh PDI Perjuangan.
“Kalau itu memang terbukti menurut saya itu bisa dijadikan memenuhi klausul impeachment terutama dalam kaitannya dengan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden,” katanya.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti menegaskan bahwa putusan MK Nomor 90/2023 tetap sah secara hukum.
Meskipun ia secara pribadi mengkritik putusan tersebut, secara formal putusan itu tidak dapat dijadikan alasan pemakzulan berdasarkan Pasal 7A UUD 1945.
“Kalau bertanya ke saya berdasarkan hukum dan apakah itu (Putusan 90) bisa dibawa sebagai alasan Pasal 7A UUD 1945 untuk pemakzulan, jawabannya adalah tidak bisa. Putusan 90 itu sudah sah,” kata Bivitri saat dihubungi Forum Keadilan, Senin, 28/4.
Ia juga mengingatkan bahwa dugaan nepotisme melalui bantuan sosial (bansos) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah diajukan sebagai argumen dalam sengketa Pemilu Presiden di MK. Namun, MK tetap menyatakan tidak ada pelanggaran hukum yang membatalkan hasil pemilu.
“Dalam perkara PHPU pilpres, semua argumen itu sudah diuji, dan putusannya secara hukum tetap sah menurut MK. Maka, secara hukum, tentu saja berat menjadikan hal itu sebagai dasar pemakzulan,” katanya.
Sementara dari segi politik, kata dia, upaya pemakzulan juga akan menemui hambatan besar. Apalagi, semua fraksi di DPR harus setuju untuk membawa kasus ini ke MK. Padahal, fraksi-fraksi di DPR, terutama yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintahan, tentu akan melakukan negosiasi politik yang kompleks.
“Kita harus realistis secara politis. Kalau Gibran dimakzulkan, fraksi-fraksi pasti akan bernegosiasi soal siapa pengganti Gibran. Tidak akan semudah itu,” katanya.
Bivitri membandingkan situasi saat ini dengan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang pemberhentiannya lebih mudah karena belum ada aturan ketat seperti Pasal 7A.
“Saya tidak bilang 100 persen tidak mungkin, tapi sekarang jauh lebih sulit karena harus ada negosiasi politik besar, dan dasar hukumnya (Putusan 90) sampai sekarang masih dianggap sah,” pungkasnya.
Keprihatinan Moral
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai, inisiatif sejumlah purnawirawan TNI lebih merupakan bentuk keprihatinan moral daripada upaya politik yang realistis untuk diimplementasikan.
Ia menilai bahwa para Pensiunan Jenderal tersebut memiliki pengalaman panjang dalam perjalanan politik Indonesia, mulai dari masa Sultan Hamengkubuwono IX, BJ Habibie, Megawati Soekarnoputri, hingga Jusuf Kalla. Kondisi pemerintahan saat ini dinilai jauh mengalami kemunduran dibandingkan masa-masa tersebut.
“Mereka merasa gelisah dan prihatin dengan situasi sekarang. Sebagai orang-orang yang sudah tidak memiliki pretensi kekuasaan, mereka ingin mengimbau agar ada tindakan yang jelas untuk menyelamatkan bangsa,” kata Firman, saat dihubungi Forum Keadilan, Senin, 28/4.
Namun, dari perspektif politik maupun hukum, Firman memandang usulan tersebut akan menghadapi hambatan besar. Menurutnya, eksistensi Gibran tidak terlepas dari pengaruh politik Jokowi yang masih cukup kuat di masyarakat. Sehingga, apabila mereka serius untuk memakzulkan Gibran, maka harus dilakukan secara hati-hati.
“Dari sisi politik, eksistensi Gibran adalah representasi dari kekuatan politik Jokowi yang masih terasa. Pemerintah tentu berhitung dalam memperlakukan Gibran,” ujarnya.
Lebih lanjut, Firman menjelaskan bahwa dari sisi hukum, konstitusi tidak menyediakan mekanisme mudah untuk memberhentikan seorang wakil presiden. Prosedur yang diatur dalam UUD 1945 sangat ketat dan membutuhkan proses panjang melalui DPR, MK, hingga MPR.
“Secara politik dan hukum, usulan ini akan sulit sekali diwujudkan. Bisa dikatakan hampir tidak berpengaruh terhadap kelangsungan pemerintahan Prabowo,” jelasnya.
Firman menilai, inisiatif para purnawirawan lebih merupakan ekspresi keprihatinan tanpa pamrih daripada upaya nyata untuk mengubah komposisi pemerintahan. Ia juga menyebut, dalam komposisi politik DPR saat ini, sangat kecil kemungkinan ada fraksi yang berani memproses usulan tersebut. Menurutnya, usulan tersebut kemungkinan besar akan kandas, bahkan sebelum mencapai tahapan formil.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, wacana tersebut merupakan isu dilematis. Sama seperti pengamat lain, ia menilai bahwa Putusan 90/2023 MK tidak bisa jadi landasan untuk memakzulkan Gibran.
Dedi menekankan bahwa upaya memakzulkan Gibran juga menghadapi hambatan struktural. Dalam sistem politik Indonesia, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan sebagai satu paket. Artinya, kata dia, jika proses pencalonan Gibran dianggap cacat hukum, maka pencalonan Prabowo pun seharusnya turut dianggap tidak sah.
“Sistem politik kita menentukan pemimpin satu paket dengan presiden, jika masuknya Gibran direstui secara tidak sah, maka pendaftaran di KPU (Komisi Pemilihan Umum) seharusnya juga tidak sah pada Prabowo Subianto,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Senin, 28/4.
Lebih jauh, Dedi membaca kekhawatiran yang disuarakan sejumlah purnawirawan TNI tidak semata-mata soal legalitas pencalonan Gibran. Ia menilai ada keresahan mendalam terkait kapasitas kepemimpinan Gibran jika terjadi dinamika politik tertentu di masa mendatang.
“Prabowo hingga saat ini seperti belum sepenuhnya berkuasa, Jokowi masih intens membina relasi dengan elit, bahkan memfestivalkan pertemuan-pertemuan dengan pejabat publik,” katanya.
Menurutnya, potensi risiko akan muncul jika terjadi sesuatu terhadap kepemimpinan Prabowo dan Gibran harus mengambil alih kekuasaan. Kondisi tersebut dinilai dapat memicu ketegangan dan konflik publik yang lebih luas.
“Jika terjadi sesuatu yang menganggu kekuasaan Prabowo, dan Gibran terkondisikan menggantikan Presiden, ini yang beresiko memunculkan konflik publik. Dan itu barangkali yang ditakutkan purnawirawan,” ucapnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi