Pukat UGM: Suap Vonis Lepas Migor Bukti Mafia Perkara Masih Cengkeram Penegakan Hukum

Ketua PN Jaksel M Arif Nuryanta. | Ist
Ketua PN Jaksel M Arif Nuryanta. | Ist

FORUM KEADILAN – Terungkapnya praktik suap sebesar Rp60 miliar dalam kasus suap vonis lepas (ontslag) dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang menjerat sejumlah hakim tindak pidana korupsi (tipikor) dan panitera menunjukkan bahwa bukti mafia perkara masih mencengkeram penegakan hukum di Indonesia.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menilai kasus ini sebagai indikasi kuat bahwa praktik jual-beli perkara masih marak terjadi di Indonesia.

Bacaan Lainnya

“Ini sangat memprihatinkan dan bisa jadi hanya puncak gunung es. Yang terlihat di permukaan hanya sebagian kecil, sementara di bawahnya mungkin masih banyak kasus serupa yang belum terungkap,” ujar Zaenur kepada Forum Keadilan, Senin, 14/4/2025.

Zaenur menegaskan bahwa keterlibatan hakim dalam perkara suap bukanlah hal baru. Ia menyinggung soal kasus suap di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan juga kasus Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan.

Rangkaian kasus tersebut, kata dia, memperkuat dugaan bahwa mafia perkara masih mencengkeram dunia peradilan.

“Ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih bisa dibeli. Hukum belum mampu memberi keadilan, kepastian, dan manfaat bagi masyarakat,” tambahnya.

Menurut Zaenur, intervensi terhadap hukum saat ini tidak hanya datang dari kekuasaan, tetapi justru dari materi. Para hakim, katanya, masih sangat rentan terhadap suap.

Ia menyebut dua akar masalah utama dari maraknya praktik korup di institusi peradilan, pertama adalah kultur jual-beli perkara yang telah mengakar selama puluhan tahun.

“Kultur ini sudah menyebar dan menjadi kebiasaan di institusi penegak hukum,” ujarnya.

Selain itu, Zaenur juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan di peradilan Indonesia. Ia menilai, pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung belum mampu menjangkau praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh para hakim.

“Idealnya, pengawasan dilakukan di semua level, termasuk pengawasan antar kolega. Para hakim juga harus memiliki keberanian untuk menjadi whistleblower ketika melihat penyimpangan,” tambahnya.

Sayangnya, kata dia, budaya untuk saling mengawasi dan melaporkan sesama hakim yang korup belum terbentuk. Rasa takut terhadap ancaman serta minimnya perlindungan membuat potensi pengungkapan kasus sangat rendah.

Zaenur juga menggarisbawahi lemahnya pengawasan eksternal, yang sejauh ini hanya dijalankan oleh Komisi Yudisial (KY). Namun, lembaga ini hanya bisa menilai aspek etik, dan tidak memiliki wewenang untuk menilai putusan hakim meskipun ditemukan adanya kejanggalan.

“Pengawasan yang longgar, kultur korup yang mengakar, serta minimnya risiko terungkap membuat mafia peradilan terus hidup. Ini tantangan besar dalam penegakan hukum kita,” ucapnya.

Sebelumnya, Ketua PN Jakarta Selatan (Jaksel) dan tiga majelis hakim yang mengadili perkara tersebut menjadi tersangka setelah diduga menerima suap sebanyak total Rp60 miliar di kasus vonis lepas pada perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO atau minyak goreng.

Adapun para tersangka tersebut ialah, Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanto, serta panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) Wahyu Gunawan.

Selain itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) turut menjerat tiga hakim aktif, yaitu Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto serta dua orang pengacara, yakni Marcella Santoso dan Ariyanto.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait