Video tersebut terlihat di hadapan para Hakim di Mahkamah Pidana Internasional ICC di Den Haag, Belanda, beberapa hari setelah penangkapannya di Manila.
Tuduhan yang dilayangkan terhadapnya adalah pembunuhan terkait dengan “perang narkoba” mematikan, yang dipimpinnya ketika menjabat sebagai Presiden.
Rodrigo Duterte tidak hadir langsung di pengadilan, tetapi hanya tampil sebentar di layar video dari pusat penahanan tempatnya ditahan, yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari lokasi pengadilan.
Hakim yang memimpin sidang, Iulia Antoanella Motoc, menetapkan tanggal sidang Praperadilan pada 23 September untuk menentukan apakah bukti-bukti yang diajukan oleh Jaksa cukup kuat untuk melanjutkan kasus ini ke persidangan. Jika sidang dilanjutkan, maka proses persidangan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dan jika Duterte dihukum, maka dia akan menghadapi hukuman maksimal penjara seumur hidup.
Hakim pun menyatakan bahwa Duterte diizinkan untuk mengikuti sidang ICC pertamanya melalui konferensi video dikarenakan Duterte baru saja menempuh penerbangan panjang.
Pengacara Duterte, Salvador Medialdea, melayangkan pernyataan bahwa kliennya telah “Diculik dari negaranya”.
“Dia dipindahkan secara sepihak ke Den Haag,” kata Medialdea.
“Bagi pengacara, ini adalah ekstradisi tanpa prosedur hukum yang sah. Bagi orang awam, ini murni penculikan.” lanjutnya.
Pengacara itu kemudian menyebut penangkapan Duterte sebagai “penyelesaian politik” di Filipina. Medialdea juga menjelaskan bahwa Duterte tengah menjalani pengawasan medis di rumah sakit karena masalah kesehatan.
Hakim yang berbicara langsung kepada Duterte, menyatakan bahwa “Dokter pengadilan berpendapat bahwa Anda sepenuhnya sadar dan dalam keadaan sehat secara mental.”
Sebagai informasi, Duterte adalah pemimpin Asia pertama yang ditangkap berdasarkan surat perintah dari ICC. Perkiraan jumlah korban tewas selama masa jabatan Duterte bervariasi, mulai dari lebih dari 6.000 orang yang dilaporkan oleh Kepolisian nasional hingga sekitar 30.000 orang, jika data dari kelompok hak-hak asasi manusia (HAM).
Wakil Presiden Filipina Sara Duterte yang merupakan putri dari Rodrigo Duterte, bertemu dengan para pendukung di luar gedung pengadilan pada hari Jumat, 14/3/2025. Ia mengatakan akan berusaha untuk mengunjungi ayahnya.
Diketahui, Duterte adalah saingan politik dari Presiden saat ini, Ferdinand Marcos Jr.
“Harapan kami adalah mereka akan memberi izin bagi kami untuk mengunjungi mantan presiden, dan (hal lainnya) kami berharap mereka akan mengizinkan permintaan kami untuk memindahkan sidang awal ini,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte ditangkap oleh pihak Kepolisian di Manila, pada Selasa, 11/3/2025, berdasarkan surat perintah Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC), dengan alasan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait perangnya terhadap narkoba yang mematikan.
Rodrigo Duterte menghadapi dakwaan “kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan”, menurut ICC atas tindakannya yang menurut sejumlah kelompok hak asasi manusia telah menelan banyak korban.
Para korban tersebut diperkirakan puluhan ribu orang, yang banyak di antaranya adalah pria miskin, tewas dibunuh oleh petugas dan kelompok yang main hakim sendiri dan kerap tanpa adanya bukti yang menyatakan bahwa mereka terkait dengan peredaran narkoba.
“Pagi hari ini, Interpol Manila menerima salinan resmi surat perintah penangkapan dari ICC,” ujar Istana Kepresidenan dalam pernyataannya.
“Saat ini, ia berada dalam tahanan pihak berwenang.” lanjutnya.
Pernyataan itu menambahkan bahwa “mantan Presiden dan kelompoknya berada dalam kondisi kesehatan yang baik dan tengah diperiksa oleh dokter pemerintah.”
Diketahui, Duterte ditangkap setelah mendarat di bandara internasional di Manila usai kunjungan singkatnya ke Hong Kong.
Rodrigo yang berbicara kepada ribuan para pekerja migran Filipina di Hong Kong, pada Minggu, 9/3/2025, mengecam investigasi terhadap dirinya, dan melabeli penyelidik ICC sebagai “putra dari pelacur.” Dalam kesempatan yang sama, ia juga mengatakan dirinya akan “menerima” jika ditangkap adalah takdirnya.
“Dengan asumsi bahwa (surat perintah penangkapan) itu benar, mengapa saya melakukannya? Untuk diri saya sendiri? Untuk keluarga saya? untuk Anda dan anak-anak Anda, dan untuk bangsa kita,” kata Duterte saat berpidato di Hong Kong, dalam upaya membenarkan kebijakannya yang brutal itu.
“Jika ini benar-benar takdir hidup saya, tidak apa-apa, saya akan menerimanya. Mereka dapat menangkap saya, memenjarakan saya,” tegasnya.
Di sisi lain, kelompok hak asasi manusia dan keluarga korban menyambut penangkapan Duterte sebagai kemenangan besar untuk menentang kebijakan impunitas negara.
Semantara itu, pendukung Duterte mengecam penangkapan tersebut dan menyebutnya sebagai penyerahan saingan politik kepada pengadilan internasional yang mereka anggap tidak memiliki yurisdiksi atas Filipina.
Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia, Bryony Lau menyatakan bahwa penampilan Duterte di ICC adalah bukti perjuangan panjang untuk keadilan yang dilakukan oleh para korban, keluarga mereka, dan aktivis Filipina.
“Penampilan Duterte di ICC menunjukkan bahwa bahkan pemimpin yang tampaknya tak terjamah pun bisa diadili,” tuturnya.
Ia menyebut pemimpin lain yang sedang menghadapi surat perintah penangkapan dari ICC, seperti Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang seharusnya memperhatikan kasus ini.
Melinda Abion Laufente, yang merupakan ibu yang anaknya bernama Angelo Lafuente dibunuh pada 2016, mengatakan dia merasa lega dengan penangkapan Duterte, “Kami senang dan merasa lega,” ujarnya.
Tim Hukum Duterte memberikan argumennya bahwa pemerintah Filipina yang sekarang seharusnya tidak membiarkan pengadilan internasional menangani kasus mantan Presiden tersebut, karena Filipina telah menarik diri dari ICC.
Mantan Juru Bicara (Jubir) Presiden Duterte, Harry Roque mengatakan dia telah mengajukan permohonan untuk menjadi salah satu pengacara Duterte.
Bila disetujui, ia akan mengajukan keberatan terhadap penangkapan Duterte oleh pemerintah Filipina, beserta menentang klaim ICC yang menganggap mereka mempunyai yurisdiksi atas Filipina, walaupun negara tersebut keluar dari Pengadilan internasional tersebut.
Tetapi, para hakim ICC yang mengeluarkan surat perintah penangkapan mengatakan bahwa kejahatan yang dituduhkan terjadi sebelum Filipina resmi menarik dari ICC.*