Rabu, 16 Juli 2025
Menu

Perdana! Presiden Terang-terangan Sindir Vonis Koruptor

Redaksi
Ilustrasi. I Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Ilustrasi. I Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Semua terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 telah divonis. Sayangnya, hampir semua terdakwa divonis jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Terbaru, Harvey Moeis yang mewakili PT Refined Bangka Tin (RBT) divonis 6,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Direktur Utama PT RBT sejak tahun 2018 Suparta, divonis 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Kemudian, Manager PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim yang turut membantu Harvey dalam pengumpulan dana CSR (Corporate Social Responsibility) hanya divonis 5 tahun dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan penjara.

Sedangkan, karena perbuatan mereka, negara merugi sekitar Rp300 triliun yang ditambah dengan kerusakan lingkungan parah.

Setelah vonis terdakwa timah itu, Presiden Prabowo Subianto menyindir majelis hakim yang menangani perkara itu, untuk tidak memberikan hukuman ringan. Bahkan, Prabowo meminta agar Jaksa mengajukan banding menjadi 50 tahun.

“Vonisnya jangan terlalu ringan lah. Nanti dibilang Prabowo enggak mengerti hukum lagi. Tapi rakyat mengerti, rakyat di pinggir jalan mengerti, rampok ratusan triliun vonisnya sekian tahun. Ada yang curi ayam dihukum berat dipukuli. Ini bisa menyakiti rasa keadilan,” tegas Prabowo pada Senin, 30/12/2024 lalu.

 

Sindiran Prabowo Intervensi Hakim?

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi III Fraksi NasDem Rudianto Lallo mengartikan, sindiran Prabowo terhadap ringannya hukuman koruptor harus dimaknai sebagai panduan moral.

Rudi menjelaskan, pernyataan tersebut bukanlah bentuk intervensi terhadap vonis hakim, sebab keputusan hakim tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Tetapi menurutnya, sindiran Prabowo merupakan sinyal untuk Mahkamah Agung (MA) agar segera bebenah.

“Pernyataan Presiden yang menyindir rendahnya hukuman para koruptor di persidangan harus dimaknai sebagai panduan moral. Artinya, ketika Presiden ngomong, harusnya MA (Mahkamah Agung) berbenah. Minimal, ada rasa peka untuk melihat situasi saat ini karena putusan itu melukai masyarakat,” papar Rudi kepada Forum Keadilan, Selasa, 31/12/2024.

Di negeri ini, kata Rudi, terdapat tiga sumber etis kekuasaan. Yakni, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan hakim, berada di tingkat yudikatif dan memiliki porsi mandiri serta independen.

Namun Rudi berpendapat, jika semua lini sumber kekuasaan mengerti bahwa korupsi adalah kejahatan yang menjadi musuh negara, maka sudah sepatutnya mendukung dalam penegakannya.

“Kita memang enggak bisa mengomentari keputusan hakim, dia independen dan mandiri. Tapi, ada upaya hukum bilamana jaksa keberatan. Kita enggak mau sudah mengungkap korupsi besar lalu kemudian hakim, sekalipun itu kewenangannya, malah menghukumnya rendah. Sehingga masyarakat tidak percaya lembaga kita,” tegasnya.

Hal senada juga keluar dari Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanagara (UNTAR) Hery Firmansyah. Ia mengatakan, rendahnya vonis para koruptor timah menjadi bahan pelajaran bagi lembaga yudikatif untuk memeriksa dan memutus perkara dengan kesungguhan dan profesional.

“Intinya ini jadi pembelajaran, agar dapat menegakkan keadilan hukum dalam proses penegakan hukum harus dilakukan dengan kesungguhan dan profesional. Perlu satu visi misi yang sama antar penegak hukum,” katanya kepada Forum Keadilan.

Tak hanya itu, menghitung nilai kerugian negara juga harus dilakukan maksimal. Supaya, tak menjadi celah bagi pelaku korupsi untuk mendapatkan keuntungan dengan memperoleh putusan hukum yang ringan.

Hery memandang, penegakan hukum saat ini menjadi PR yang tidak bisa dilakukan oleh satu orang saja. Harus ada pihak yang melakukan pengawasan, agar tak ada yang bermain di dalamnya.

“Jangan sampai ada oknum yang bermain, sehingga penegakan hukum hanya sebatas just giving a lip service semata,” tegasnya.

Prabowo menurutnya tak melakukan ‘intervensi’ di keputusan hakim. Hery setuju, jika seorang kepala negara bersuara dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Malah harus bersuara Pak Prabowo, bukan memilih diam melihat dan mendengar jeritan hati rakyat terkait keadilan yang terkoyak,” pungkasnya.

Terakhir, Hery menyebut pernyataan Presiden Prabowo dalam menanggapi rendahnya vonis koruptor adalah simbol bahwa tak ada ruang sekecil apapun bagi musuh negara.*

Laporan Merinda Faradianti