Nasib Outsourcing Tanpa Kepastian dan Perlindungan Hukum

Dr Subiyanto Pudin,S.Sos.,SH.,MKn.,CLA.
Dosen STIH Gunung Jati Kota Tangerang/Fungsionaris KSPSI/Anggota P3HKI.
FORUM KEADILAN – Pekerjaan alih daya atau outsourcing di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan sering menjadi perdebatan. Isu ini berakar pada landasan konstitusional, pasal 28D ayat (1) dan pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menjamin pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara, serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Masalahnya, outsourcing di sini seperti jauh dari perlindungan konstitusi. Ketika badai PHK melanda, seperti saat ini, setiap pekerja outsourcing ibarat berada di ujung tanduk. Mereka yang paling rawan terkena PHK lebih awal tanpa mendapat kompensasi memadai.
Dalam kerangka hukum, perlindungan pekerja outsourcing telah diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini secara eksplisit membatasi jenis pekerjaan yang dapat dialihkan kepada perusahaan outsourcing, yakni hanya lima jenis pekerjaan penunjang yang terpisah dari pekerjaan utama. Lima jenis pekerjaan tersebut mencakup jasa keamanan, kebersihan, katering, transportasi, serta jasa penunjang di sektor pertambangan dan migas.
Situasi berubah setelah berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aturan ini menghapus pembatasan jenis pekerjaan outsourcing. UU Ciptaker mengganti nomenklatur dengan istilah “pekerjaan alih daya” tanpa membedakan antara pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang.
Norma baru ini semakin diperjelas dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Ciptaker. Di sana dinyatakan bahwa pekerjaan outsourcing hanya dapat dilakukan untuk “sebagian pelaksanaan pekerjaan,” tanpa definisi eksplisit mengenai batasan ini. Akibatnya, ketidakpastian hukum bagi pekerja outsourcing meningkat, meninggalkan celah bagi praktik-praktik eksploitasi.
Pada 31 Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa Pasal 64 ayat (2) UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai bahwa Menteri Tenaga Kerja wajib menetapkan jenis dan bidang pekerjaan alih daya melalui perjanjian tertulis. Secara substansial, putusan ini mengembalikan norma pembatasan sifat pekerjaan outsourcing seperti yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya. Namun, realitas di lapangan tetap menunjukkan berbagai permasalahan dalam pelaksanaan alih daya.
Dalam praktiknya, banyak pekerja outsourcing menghadapi kondisi kerja yang tidak adil. Proses penerimaan kerja sering kali melibatkan biaya tambahan yang harus dibayar pekerja kepada pihak tertentu dengan dalih uang administrasi. Setelah dipekerjakan, hak-hak normatif seperti upah minimum, pendaftaran ke program jaminan sosial, atau pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) sering diabaikan. Beberapa perusahaan bahkan menggunakan modus pemberhentian massal menjelang hari raya untuk menghindari kewajiban pembayaran THR.
Situasi ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam beberapa kasus, desentralisasi penegakan hukum kepada pengawas ketenagakerjaan di tingkat provinsi (Wasnaker) justru membuka peluang bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Mereka memanfaatkan celah hukum demi keuntungan pribadi.
Lemahnya regulasi juga terlihat dari tidak adanya kewajiban pencadangan dana jaminan bagi perusahaan outsourcing untuk memastikan pemenuhan hak-hak pekerja jika terjadi risiko usaha. Akibatnya, perusahaan outsourcing banyak bermunculan, bak jamur di musim hujan, tanpa memperhatikan kualitas dan kapasitas mereka. Terciptalah persaingan tidak sehat di antara perusahaan outsourcing yang ujung-ujungnya merugikan para pekerja.
Persaingan ini berdampak pada rendahnya fee manajemen yang diterima perusahaan outsourcing dari pemberi kerja, yang sering kali di bawah 10 persen standar yang ideal. Biaya operasional yang tidak mencukupi akhirnya dibebankan kepada pekerja dalam bentuk pengurangan hak-hak mereka. Ketika pekerja mencoba melaporkan pelanggaran ini kepada pengawas ketenagakerjaan, risiko PHK menjadi ancaman nyata. Terpaksa para pekerja memilih bertahan dalam kondisi yang tidak adil daripada kehilangan pekerjaan mereka.
Pengalaman penulis ketika mengadvokasi pekerja outsourcing di salah satu perusahaan keramik di Kabupaten Tangerang bisa dijadikan contoh. Di sana, pekerja mengajukan protes atas kondisi mereka. Tapi, semua pekerja yang diadvokasi itu akhirnya di-PHK. Pengurus serikat pekerja di tingkat perusahaan juga diberangus (union busting). Kondisi ini menggambarkan bagaimana pekerja outsourcing terjebak dalam siklus eksploitasi. Mereka harus menerima kondisi kerja yang tidak layak demi kelangsungan hidup.
Pemerintah, sebagai representasi negara, mestinya bertanggung-jawab untuk memastikan keadilan dan perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing. Kepastian hukum hanya dapat terwujud melalui norma yang tertulis dan jelas sesuai prinsip hukum “Lex Scripta.” Oleh karena itu, langkah-langkah konkret diperlukan untuk memperbaiki regulasi dan implementasi pekerjaan outsourcing di Indonesia.
Pertama, pemerintah perlu segera menerbitkan regulasi yang mematuhi putusan MK, yang mengatur bahwa pekerjaan outsourcing hanya dapat dilakukan untuk pekerjaan penunjang, seperti yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya. Regulasi ini harus secara eksplisit menetapkan lima jenis pekerjaan yang diizinkan untuk outsourcing: jasa keamanan, kebersihan, katering, transportasi, serta jasa penunjang di sektor pertambangan dan minyak serta gas.
Kedua, pemerintah harus mewajibkan perusahaan outsourcing untuk mencadangkan dana jaminan di bank-bank milik negara (Himbara). Dana ini akan berfungsi sebagai mitigasi risiko untuk memastikan pemenuhan hak-hak pekerja jika terjadi kegagalan usaha. Regulasi ini tidak hanya memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi pekerja, tetapi juga mendorong pertumbuhan perusahaan outsourcing yang berkualitas dan bertanggung jawab.
Dengan langkah-langkah ini, negara dapat menunjukkan kehadirannya dalam melindungi hak-hak pekerja outsourcing sesuai amanat konstitusi. Transparansi kontrak kerja juga penting. Haurissa et al. (2024) menyatakan, mekanisme yang mengedepankan transparansi dalam kontrak kerja dan akses yang mudah terhadap perlindungan hukum harus diutamakan. Selain itu, Marchela (2023) menyarankan bahwa langkah-langkah untuk memperkuat pengawasan tenaga kerja harus diarahkan pada peningkatan kesejahteraan dan jaminan sosial pekerja outsourcing.
Pemerintah perlu lebih serius dalam mengatasi permasalahan pekerja outsourcing ini untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang adil dan berkelanjutan di Indonesia. Pekerja outsourcing tidak boleh lagi menjadi korban eksploitasi, melainkan harus dipandang sebagai bagian penting dari pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
Kebijakan outsourcing di Indonesia membutuhkan pendekatan yang seimbang antara efisiensi perusahaan dan perlindungan pekerja. Reformasi kebijakan, pengawasan ketat, dan peran aktif serikat pekerja dapat membantu memastikan bahwa sistem outsourcing tidak merugikan pekerja. Problem outsourcing juga memerlukan perhatian serius dari pembuat kebijakan, perusahaan, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang adil dan berkelanjutan.
Pendekatan berbasis bukti dari berbagai studi dan pendapat ahli dapat membantu menciptakan solusi yang lebih baik. Dengan dukungan regulasi yang kuat dan penegakan hukum yang konsisten, keseimbangan antara hak pekerja dan kepentingan perusahaan dapat tercapai, sehingga membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat.*