FORUM KEADILAN – Pemilik manfaat PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Suwito Gunawan alias Awi mengklaim bahwa PT Timah enggan membayarkan royalti hasil penambangan.
Alasannya, cadangan bijih timah yang berada di Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan pelat merah tersebut menipis. Awi menyangkal bahwa menipisnya cadangan bijih disebabkan karena penambangan ilegal yang dilakukan masyarakat setempat.
“Masyarakat menambang sekitar tahun 2000-an, setelah menjadi Provinsi Bangka Belitung. PT Timah mengatakan cadangannya menipis, mereka enggan membayarkan royalti,” katanya di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat (Jakpus), Rabu, 4/12/2024.
Awi melanjutkan, baru setelah menjadi provinsi, PT Timah memberikan IUP-nya pada perusahaan swasta. Tetapi, PT Timah tetap belum membayarkan royalti tersebut.
“Tapi setelah kerja sama smelter, mereka melakukan pembayaran kembali itu dan hanya menjadi barang yang diawasi saja,” jelasnya.
Menurut Awi, royalti hasil tambang timah, yang hanya sebesar 3 persen sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022, dirasakan belum proporsional. Sehingga, kata dia, tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan, khususnya terkait lingkungan dan daya ungkit bagi kesejahteraan masyarakat setempat.
“Dulu harga timah US$3000 per ton, sekarang US$ 30.000 per ton. Dengan kenaikan harga, daerah miskin dan daerah bekas tambang pun digali. Tanpa masyarakat, timah nggak ada,” tegasnya.
Diketahui, berdasarkan PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, pemerintah pusat menerima dividen 65 persen dari saham dan 20 persen dari royalti sebesar 3 persen dari hasil penjualan logam timah.
Sisanya, 16 persen untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 32 persen untuk daerah penghasil, dan 32 persen untuk daerah yang berdekatan.
Dengan demikian, hanya 0,48 persen dari total penjualan logam timah setiap tahun yang dibagikan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Nilai ini dianggap tidak sebanding dengan hasil penambangan yang diperoleh PT Timah Tbk (TINS).*
Laporan Merinda Faradianti