FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa setiap pemberi kerja wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia.
Hal itu disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja lainnya.
“Dalam hal jabatan belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia, jabatan tersebut dapat diduduki oleh TKA (Tenaga Kerja Asing). Namun demikian, penggunaan TKA pun dilakukan dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri,” kata Arief di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis, 31/10/2024.
Selain kewajiban penggunaan Pekerja Indonesia, kata Arief, pemberi kerja juga diwajibkan untuk menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping TKA agar dapat terjadi alih teknologi dan keahlian dari pekerja asing.
“Hal ini agar dapat terjadi alih teknologi dan keahlian dari TKA yang dipekerjakan agar tenaga pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan yang nantinya menggantikan TKA yang didampingi,” katanya.
Selain itu, pengawasan terhadap penggunaan TKA, pelatihan kerja pendamping TKA serta alih teknologi menjadi hal penting yang harus dipastikan pemerintah.
Di samping itu, penggunaan TKA harus dibatasi dan hanya dibuka untuk jabatan dan jangka waktu tertentu serta harus sesuai dengan kompetensi dalam jabatan tertentu agar tujuan pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia dapat diwujudkan sebagaimana amanat Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003.
“Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan kekhawatiran adanya pengecualian kewajiban RPTKA dalam Pasal 42 ayat (3) huruf c dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 akan merugikan tenaga kerja Indonesia adalah dalil yang tidak berdasar,” jelas Arief.
Penggunaan TKA Harus Terukur
Mahkamah menyebut bahwa penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) menjadi sesuatu hal yang tak dapat dihindarkan untuk beberapa sektor tertentu, namun MK menegaskan, penggunaan TKA tersebut harus didasarkan pada kebutuhan yang jelas dan terukur, serta tidak boleh merugikan kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia.
“Artinya, bilamana norma Undang-Undang tidak memberikan pembatasan, peraturan yang lebih rendah berpotensi untuk melanggar pembatasan terhadap TKA tersebut, sehingga memungkinkan suatu perusahaan menyerap TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus,” terang Arief.
Oleh karena itu, kata Arief, data calon TKA dalam pengesahan Rencana Penggunaan TKA harus didukung dengan dokumen yang menunjukkan kriteria kompetensi dimaksud, yaitu sertifikat kompetensi, termasuk ijazah pendidikan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.”
Sebelumnya, Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua individu lain, yaitu Mamun dan Ade Triwanto melakukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Dalam permohonannya, terdapat 71 petitum yang dimohonkan pemohon agar Mahkamah membatalkan pasal-pasal terkait sektor ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Selain itu, mereka juga memohon agar Mahkamah menghidupkan kembali norma yang sudah dicabut.
Para Pemohon menguji sejumlah klaster dan sekitar 50 norma dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Adapun klaster-klaster dimaksud, yaitu Penggunaan Tenaga Kerja Asing; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); Pekerja Alih Daya (Outsourcing); Cuti; Upah dan Upah Minimum; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK).
Para Pemohon mendalilkan pasal-pasal yang diuji tidak mencerminkan jaminan dan perlindungan hukum yang adil bagi tenaga kerja dan oleh karenanya bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.*
Laporan Syahrul Baihaqi