FORUM KEADILAN – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mempertanyakan perkembangan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pertanyaan itu ia sampaikan dalam sidang Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, 87/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang mempersoalkan konstituisonalitas Pasal 222 UU Pemilu tentang ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Agenda sidang kali ini ialah mendengarkan keterangan dari DPR dan beberapa partai politik, di antaranya Partai Golkar, Partai Buruh, Partai Hanura dan Partai Bulan Bintang.
Dalam persidangan, Saldi meminta DPR, yang diwakili oleh Anggota Komisi III Martin Daniel Tumbelaka, agar bisa menambahkan beberapa poin terkait catatan perkembangan revisi UU Pemilu ke MK pada sidang selanjutnya.
“Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi kan sudah mengamanatkan untuk melakukan perbaikan atau perubahan di dalam Undang-Undang itu, yang sering disebut dengan judicial order itu,” kata Saldi di sidang pleno di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 30/10/2024.
Saldi lantas meminta sudah seberapa jauh pergerakan dari DPR untuk melakukan perbaikan terhadap aturan pemilu. Sehingga, kata dia, ia berharap agar semua hal yang berkaitan dengan aturan pemilu telah selesai dibahas DPR sebelum tahapan dimulai.
“Nah, jadi mengapa itu penting? kita berharap nanti setelah tahapan dimulai, hal-hal yang prinsipil itu tidak lagi diutak-atik, baik DPR dan juga MK, misalnya soal persyaratan dan segala macam,” tambahnya.
Hal ini untuk memberikan gambaran kepada Mahkamah seberapa cepat gerak DPR dalam mengadopsi dan menerima setiap kemungkinan perubahan dalam UU Pemilu.
Apalagi, kata Saldi, Mahkamah sudah eksplisit mengatakan tidak ada lagi beda rezim pemilu dengan pilkada misalnya. Sehingga, pada agenda ke depan, DPR harus melakukan kodifikasi atau penggabungan antara aturan dalam UU Pemilu dan Pilkada sebagai suatu rezim yang sama. Hal ini agar anggota DPR yang baru dapat meninggalkan sejarah penting untuk Indonesia.
“Nah, itu artinya ke depan, DPR memang harus menyatukan Undang-Undang ini dalam satu Undang-Undang dan itu harus digambarkan sebaiknya digambarkan kepada Mahkamah seberapa cepat itu pergerakan,” katanya.
Pada kesempatan terpisah, salah satu pemohon yang ditemui Forum Keadilan usai persidangan, Titi Anggraini mengapresiasi pernyataan Saldi Isra agar pengaturan pemilu dan pilkada tidak boleh dipisahkan karena tidak ada istilah lain dalam pembedaan rezim tersebut.
Menurutnya, hal itu sejalan dengan Putusan MK Nomor 85/PUU/XX/2022 di mana Mahkamah menegaskan bahwa aturan terkait pemilu dan pilkada harus dikodifikasi.
Sehingga, kata Titi, aturan tentang pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilu kepala daerah dan komisi penyelenggara pemilu berada dalam satu rangkaian UU yang sama.
“Jadi, saya kira hari ini (Rabu, 30/10) kabar bagus ya, selain kita masih menunggu proses, tapi juga MK melalui yang mulia Saldi Isra, menekankan soal tindak lanjut dari sisi legislasi oleh DPR dan pemerintah,” kata Titi.
Sebagai informasi, Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Dalam petitumnya, mereka meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 diajukan oleh empat orang dosen, yaitu Dian Fitri Sabrina, Prof. Muhammad, S. Muchtadin Al Attas, dan Muhammad Saad. Keempat pemohon tersebut meminta agar Pasal 222 UU Pemilu diubah menjadi: pasangan calon presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi di DPR, selama tidak melebihi persentase tertinggi partai politik pemenang pemilu.
Adapun, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay dan pegiat kepemiluan Titi Anggraini. Salah satu petitum mereka adalah agar partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dapat ikut mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden
Ditolak Partai Besar
Setelah menjalani dua kali sidang dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah, DPR dan partai politik, isu pengubahan ambang batas presiden dan wakil presiden ditolak oleh partai-partai besar di parlemen. Sementara partai non-parlemen menyambut baik adanya perubahan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Partai Golkar yang diwakili oleh Daniel Februan Karunia Herpas mempersoalkan legal standing dari masing-masing Pemohon yang dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan terkait ambang batas presiden. Menurutnya, hanya partai politik dan gabungan partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu yang memiliki legal standing dalam permohonan tersebut.
Selain itu, Partai Golkar berpandangan bahwa aturan terkait ambang batas presiden merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy, sehingga aturan ini tidak bisa diuji di Mahkamah Konstitusi.
Di sisi lain, Daniel juga menegaskan bahwa ambang batas presiden dapat memperkuat kedaulatan rakyat. Dengan adanya ambang batas, kata dia, calon presiden yang terpilih telah melewati proses seleksi ketat di internal partai maupun di koalisi.
“Hal ini memastikan mereka adalah kandidat dengan dukungan yang cukup kuat, ini bisa dianggap mencerminkan pilihan rakyat secara lebih luas karena kandidat didukung oleh partai-partai besar yang mewakili kepentingan dan suara masyarakat dalam jumlah yang signifikan,” katanya.
Menurut Partai Golkar, ambang batas juga mendorong terbentuknya koalisi yang kuat di parlemen, sehingga mempermudah presiden terpilih dalam menjalankan program-program yang diusungnya tanpa terhambat konflik di parlemen.
Apalagi, kata Daniel, dengan stabilitas politik dan pemerintahan yang efektif, kebijakan yang dihasilkan pun dapat lebih konsisten dalam mencerminkan aspirasi rakyat.
“Jadi, meskipun terbatas dalam hal jumlah calon, ambang batas ini dapat menciptakan situasi di mana rakyat mendapat pemerintahan yang lebih stabil, efektif,” katanya.
Selain Partai Golkar yang menolak perubahan ketentuan ambang batas pencalonan presiden, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Gerindra juga turut menolak perubahan tersebut pada Sidang Pleno di Gedung MK, Rabu, 23/10.
Diterima Partai Kecil
Sementara Partai Buruh yang diwakili oleh Said Salahudin menyatakan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip keadilan pemilu karena tidak memberikan hak pencalonan yang setara bagi seluruh parpol peserta pemilu.
“Pandangan Partai Buruh ini sejalan dengan pokok pikiran Hakim Konstitusi dalam dissenting opinion pada Putusan No. 53/PUU-XV/2017, yang pada dasarnya menegaskan bahwa pasal a quo telah dengan jelas merugikan dan sangat jauh dari rasa keadilan bagi partai politik yang tidak diberi kesempatan mengajukan calon presiden maupun wakil presiden hanya karena tidak memiliki kursi atau suara pada pemilu sebelumnya,” ujar Said.
Partai Buruh berpandangan bahwa kebijakan hukum ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden perlu direkonstruksi. Ia lantas mengungkapkan tiga alasan mengapa presidential threshold (PT) harus diubah.
Pertama, kata Said, ketentuan tersebut seharusnya dimaknai sebagai syarat keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden, bukan sebagai syarat pencalonan. Hal ini didasarkan pada praktik ketatanegaraan yang umum diterapkan di negara-negara yang menggunakan sistem PT.
Selain itu, kata Said, Partai Buruh menilai persyaratan ambang batas pencalonan presiden yang didasarkan pada perolehan suara atau kursi parpol di DPR, pada dasarnya merupakan praktik anomali dalam skema presidensial.
“Secara teoritis, basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda,” katanya.
Partai Buruh juga berpandangan, PT yang dimaknai sebagai syarat pencalonan presiden semestinya tidak diperlukan lagi karena tujuan dari tersebut untuk menghadirkan sistem kepartaian yang sederhana dan dalam rangka menggalang dukungan mayoritas dari parlemen terhadap presiden dan wakil presiden terpilih, akan secara otomatis terlaksana dari hasil pemilu serentak.
Untuk itu, Partai Buruh menegaskan bahwa ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden harus dihilangkan atau menjadi 0 persen. Menurutnya, ambang batas 0 persen lebih relevan untuk diterapkan dan ketentuan ini hanya berlaku pada partai politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu.
“Partai Buruh mengusulkan agar ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ditentukan menjadi 0 persen dalam rangka menghadirkan lebih banyak alternatif pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dapat dipilih oleh rakyat secara demokratis pada pelaksanaan pemilu,” kata Said.
Sementara Partai Hanura yang diwakili oleh Steven Alves Tes Mau beralasan pengaturan ambang batas ini jelas membatasi pemenuhan hak konstitusional dari partai politik peserta pemilu yang telah memperoleh suara sah dalam pemilu meskipun tidak mendapatkan kursi di DPR. Hal ini juga mengurangi nilai pemilihan umum yang demokratis. Sebab, jumlah suara sah hasil pemilihan umum partai politik menjadi hilang dan sia-sia.
Menurut Steven, sistem pemilihan yang demokratis mestinya membuka ruang kepada semua parpol peserta Pemilu baik yang mendapat kursi di DPR maupun parpol non-parlemen yang memiliki jumlah suara sah untuk mengajukan bakal calon presiden dan wakil presiden. Hal ini dalam rangka menghormati kemurnian suara rakyat yang telah memilih dalam pemilu dan tentunya juga ada pilihan alternatif dan/atau pilihan beragam bagi masyarakat.
MK Perlu Bentuk Rambu-rambu
Pakar Kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini menyatakan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang tinggi, sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara sah, telah menimbulkan ketidakadilan bagi partai politik non-parlemen.
Menurutnya, kecenderungan untuk mempertahankan angka ini tampak jelas, terutama di kalangan partai besar yang telah berada di parlemen.
“Polanya dari pemilu ke pemilu selalu sama. Partai-partai besar cenderung mempertahankan ambang batas tinggi ini, meskipun otomatis berdampak negatif pada partai-partai non-parlemen,” ujar Titi.
Titi menyebut bahwa dengan memberi kuasa penuh kepada partai politik di parlemen untuk menetapkan aturan pencalonan presiden, partai non-parlemen semakin sulit untuk mendapatkan akses yang setara dalam pemilu.
“Dengan kecenderungan mempertahankan ambang batas ini, sulit bagi partai-partai kecil atau baru untuk bisa ikut mencalonkan presiden,” katanya.
Padahal, kata Titi, tidak ada kaitan langsung antara ambang batas pencalonan presiden yang tinggi dengan penyederhanaan sistem kepartaian. Titi menambahkan bahwa tingginya ambang batas pencalonan presiden hanya mempersulit akses partai baru, tanpa benar-benar menyederhanakan jumlah partai di parlemen.
Titi menekankan pentingnya MK dalam mengkaji persoalan ini secara holistik dan memberikan panduan atau rambu-rambu yang adil bagi semua partai peserta pemilu, baik yang sudah di parlemen maupun yang belum. Ia menyebut MK berperan penting untuk memastikan keadilan dan kesetaraan bagi semua pihak.
“Keadilan, kesetaraan, dan akses bagi kompetisi yang fair adalah hal yang perlu diutamakan. Meskipun nanti Mahkamah Konstitusi memberikan kewenangan kepada pembuat Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut, penting ada panduan jelas untuk merumuskan ambang batas pencalonan presiden ini,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menilai keterangan DPR cenderung moderat dengan menyatakan tidak boleh menyamakan sesuatu yang beda atau membedakan sesuatu hal yang sama dengan membandingkan antara partai parlemen dan non parlemen.
Menurutnya, hal ini sejalan dengan permohonan yang diajukan pihaknya, yaitu memberikan kesempatan kepada semua partai yang memiliki kursi di DPR untuk mengajukan calon, sementara ambang batas hanya berlaku bagi partai non-parlemen.
“Dengan demikian, keberadaan MK semakin relevan untuk meluruskan kebijakan ini dan memberikan aturan main yang lebih adil. Kami berharap ada perlakuan yang sama bagi semua partai politik dalam pencalonan presiden dan wakil presiden di masa mendatang,” pungkasnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi