Rabu, 02 Juli 2025
Menu

MK: Aturan Outsourcing Harus Diatur dalam UU untuk Berikan Perlindungan Hukum

Redaksi
Sidang pertimbangan putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja lainnya di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis, 31/10/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Sidang pertimbangan putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja lainnya di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis, 31/10/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa aturan terkait pekerjaan alih daya atau Outsourcing harus diatur dalam perundang-undangan guna memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja alih daya.

Hal itu disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh saat membacakan pertimbangan putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja lainnya.

“Maka menurut Mahkamah, perlu ada kejelasan dalam Undang-Undang (UU) yang menyatakan bahwa menteri menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan dalam perjanjian alih daya,” kata Daniel di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis, 31/10/2024.

Sehingga, kata Daniel, pihak-pihak yang terkait dengan perjanjian alih daya, seperti perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa alih daya, dan para pekerja, akan memiliki standar yang jelas tentang jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan.

Dengan begitu, pekerja alih daya hanya akan bekerja pada pekerjaan alih daya sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.

“Dengan adanya kejelasan ini akan memberikan perlindungan hukum yang adil kepada pekerja/buruh mengenai status kerja dan hak-hak dasarnya, seperti upah, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang layak karena sudah ditetapkan jenis pekerjaan alih dayanya dalam perjanjian kerja,” lanjutnya.

Untuk itu, kata Daniel, menteri terkait harus memperjelas aturan yang boleh dan tidak boleh dalam raktik alih daya pada peraturan UU mendatang.

Mahkamah menilai bahwa hal tersebut dapat mencegah adanya kesalahan dalam mengalihkan pekerjaan, yang dapat menyebabkan persoalan hukum.

“Karena ada batasan yang tegas pada pekerjaan yang dapat dialihdayakan dan juga pengaturan tersebut dapat membantu mengurangi kemungkinan konflik antara perusahaan dan pekerja/buruh,” katanya.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai bahwa Pasal 64 dalam Pasal 81 angka 18 UU 6/2023 yang mengubah Pasal 64 UU 13/2003 tidak secara jelas mengatur mengenai penyerahan sebagian pekerjaan alih daya. Sementara Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tidak mengatur ketentuan tersebut.

Adapun PP tersebut mengatur tentang hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan, didasarkan pada PKWT atau PKWTT yang harus dibuat secara tertulis.

Sedangkan terkait substansi mengenai pelindungan pekerja/buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Sebelumnya, Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua individu lain, yaitu Mamun dan Ade Triwanto melakukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Dalam permohonannya, terdapat 71 petitum yang dimohonkan pemohon agar Mahkamah membatalkan pasal-pasal terkait sektor ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Selain itu, mereka juga memohon agar Mahkamah menghidupkan kembali norma yang sudah dicabut.

Para Pemohon menguji sejumlah klaster dan sekitar 50 norma dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Adapun klaster-klaster dimaksud, yaitu Penggunaan Tenaga Kerja Asing; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); Pekerja Alih Daya (Outsourcing); Cuti; Upah dan Upah Minimum; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK).

Para Pemohon mendalilkan pasal-pasal yang diuji tidak mencerminkan jaminan dan perlindungan hukum yang adil bagi tenaga kerja dan oleh karenanya bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.*

Laporan Syahrul Baihaqi