Selasa, 08 Juli 2025
Menu

Eks Ketua KPK Sarankan Pemerintah Buat Perppu dalam Pemberantasan Korupsi

Redaksi
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 Abraham Samad di Gedung Merah Putih KPK, Kamis, 31/10/2024 | Merinda Faradianti/Forum Keadilan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 Abraham Samad di Gedung Merah Putih KPK, Kamis, 31/10/2024 | Merinda Faradianti/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 Abraham Samad menyarankan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam pemberantasan korupsi.

Hal itu dimaksudkan untuk mengembalikan Undang-Undang (UU) KPK dalam pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu.

“Kita mengimbau kepada pemerintahan baru, kalau bisa menerbitkan Perppu untuk mengembalikan UU (KPK) lama,” katanya kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 31/10/2024.

Menurut Samad, pimpinan KPK saat ini mengalami kesulitan dalam memberantas korupsi. Lantaran, ada beberapa kasus korupsi yang disinyalir ada intervensi dari pihak tertentu.

“(Beberapa kasus) ini bisa diteruskan oleh pimpinan KPK berikutnya. Salah satu hambatan yang dihadapi pimpinan KPK sekarang adalah UU KPK tahun 2019. Itu menghambat mereka,” lanjutnya.

Samad menilai, UU KPK yang lama membuat ruang gerak pimpinan KPK sekarang ini menjadi lebih leluasa memberantas korupsi.

Diketahui, ada beberapa pasal UU KPK yang berpotensi menghambat pemberantasan korupsi. Salah satunya, Pasal 47 UU KPK yang baru, kewenangan menggeledah dan menyita harus melalui izin dewan pengawas.

Pasal 12B mengatur penyadapan juga harus melalui izin tertulis dewan pengawas. Jangka waktu penyadapan dibatasi hanya selama 1×6 bulan dan dapat diperpanjang 1×6 bulan.

Kemudian, UU KPK yang baru juga mengatur kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila penyidikan dan penuntutan suatu perkara tak selesai dalam jangka waktu 2 tahun. Banyak pihak yang menilai, aturan ini diskriminatif dengan UU Kepolisian dan Kejaksaan.*

Laporan Merinda Faradianti