Akademisi Sebut Promosi Doktor Bahlil Lahadalia di SKSG UI Masih Sesuai Jalur

FORUM KEADILAN – Promosi Doktor Bahlil Lahadalia di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) menimbulkan polemik. Namun, menurut akademisi, promosi tersebut masih sesuai jalur.
Akademisi sekaligus co-promotor saat promosi Bahlil, Dr. Teguh Dartanto, menyatakan, kritikus seharusnya melakukan pengecekan fakta dan menggali informasi dari sumber yang tepat sebelum memberikan penilaian.
Teguh menjelaskan bahwa Bahlil mengambil jalur riset sesuai aturan SKSG UI. Penelitian Bahlil didasarkan pada dua pertanyaan penting: apakah kebijakan hilirisasi nikel saat ini sudah berbasis bukti akademik, dan jika tidak, bagaimana cara memperbaikinya untuk memberi manfaat yang lebih besar.
Sebagai pembuat kebijakan, menurut Teguh, Bahlil memiliki akses luas terhadap data dan informasi yang relevan, yang memperkuat penelitian ini.
“Selain itu, Bahlil juga memiliki privilege akses informasi, data, dan sumber daya untuk melakukan penelitian ini jauh sebelum mendaftar kuliah. Dalam konteks saat ini seperti akreditasi AACSB (akreditasi internasional terkemuka sekolah bisnis yang dimiliki FEB UI), memiliki mahasiswa dan disertasi seperti ini akan sangat bermanfaat untuk societal impacts,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis, 24/10/2024.
Tegus menuturkan, selama proses penelitian, komposisi tim promotor, yakni Prof. Chandra Wijaya (FIA), Teguh Dartanto (FEB), dan Athor Subroto (SKSG/FEB) sering melakukan diskusi serta perdebatan terkait arah penelitian, metodologi dan cakupan penelitian.
Bahlil juga diminta untuk turun langsung ke lapangan, bertemu masyarakat di Morowali dan Weda Bay, serta berdiskusi dengan pemangku kepentingan.
Untuk memperkaya perspektif global, Bahlil melakukan wawancara dengan ahli kebijakan industrialisasi di di Korea (Ha-Joon Chang-SOAS University of London), Tiongkok (Justin Lin-Peking University) dan Amerika Serikat (Dani Rodrik, Harvard University). Teguh memastikan wawancara tersebut mengikuti panduan yang benar.
“Wawancara ahli internasional menambahkan theoretical framework mengenai developmental state dalam proses industrialisasi di mana tanpa ada intervensi pemerintah maka hilirisasi/industrialisasi sulit terjadi, sehingga ada broken ladder,” ujarnya.
Dalam hal administratif, Teguh menilai Bahlil memenuhi syarat masa studi berdasarkan Peraturan Rektor No. 26/2022. Bahlil telah menyelesaikan studinya dalam empat semester, sesuai aturan minimal.
“Terkait isu kualitas bisa diperdebatkan tetapi penguji luar Prof. Didik Rachbini (Universitas Paramadina), Prof. Arif Satria (IPB University), Prof. Kozuke Mizuno (Kyoto University) dan penguji internal UI bukanlah orang-orang yang bisa dibeli untuk meluluskan disertasi Bahlil,” terangnya.
“Mengenai kewajaran masa studi, kasus yang sama, FEB UI tahun 2004 pernah meluluskan Doktor Sugeng Purwanto dengan masa studi 13 bulan 26 hari (Rekor MURI Doktor tercepat). Apalagi kualitas pendidikan di SKSG UI tetap terjaga ketat karena setiap penelitian harus memiliki tingkat kemiripan yang sangat kecil, yakni di bawah 10 persen,” sambungnya
Teguh mengungkapkan, calon lulusan diharuskan mempublikasi penelitiannya tersebut. Pasalnya, bagi S2 penelitian harus dipublikasi di jurnal yang terakreditasi minimal Science and Technology Index (Sinta) 5. Sementara untuk S3 diharuskan untuk menerbitkan penelitiannya di jurnal dengan minimal akreditasi Sinta 2 atau Scopus minimal Q3.
Di sisi lain, Dosen Antropologi Fisipol Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga lulusan Universitas Indonesia, Tasrifin Tahara menilai, jika Bahlil Lahadalia berhak menyandang gelar Doktor dengan predikat cumlaude, karena dalam konteks ini Bahlil tergolong mahasiswa yang mengikuti rangkaian proses akademik yang baik dan disiplin.
Sebab, menurut Tasrifin, program SKSG UI memiliki prosedur perkuliahan yang ketat dalam meluluskan mahasiswa dengan tidak melihat siapa latar belakang calon mahasiswa yang bersangkutan.
“Saya yakin mahasiswa dalam hal ini Bahlil telah melewati semua tahapan perkuliahan dengan baik mulai dari proses reviuew literatur, penyusunan proposal disertasi tahapan seminar proposal dan konsultasi yang intensif dengan promotor dan co-promotor, seminar proposal disertasi, tahapan penelitian lapangan, analisa data, penulisan disertasi, seminar hasil hingga ujian terbuka (promosi),” ujar Tasrifin.
“Apa ada yang salah dalam proses yang dilalui? Saya kira setiap program studi memiliki quality control dan mekanisme dalam penyelenggaraan studi,” lugasnya.
Lebih lanjut, Tasrifin mengungkapkan, Bahlil termasuk mahasiswa yang aktif dan sangat dekat dengan tema disertasi yang dia tulis, termasuk kedekatan dengan informan dan akses terhadap data penelitian hingga penyusunan laporan penelitian untuk menghasilkan disertasi.
Lalu, lama atau cepatnya studi mahasiswa terbentur dengan kendala-kendala saat penelitian dan penyusunan disertasi.
“Jika, mahasiswanya displin dan rajin maka prosesnya akan cepat menyelesaikan studi. Dan Bahlil termasuk dalam kategori mahasiswa yang disiplin. Jadi, menurut saya sangat wajar jika Bahlil bisa menyelesaikan studi dalam waktu yang cepat atau empat semester,” tandasnya.*
Laporan Ari Kurniansyah