Intervensi Mudah Masuk ke Media Besar, Mampu ‘Padamkan’ Kasus Besar

FORUM KEADILAN – Mantan Ketua Umum (Ketum) Dewas LPP TVRI, Elprisdat M. Zen, menilai terkait masuknya laporan kasus dugaan penganiayaan oleh seorang Ketua Umum Partai politik (Ketum Parpol) berinisial ARN terhadap seorang wanita berinisial NA, memiliki kemungkinan adanya intervensi.
Diketahui, laporan atas dugaan penganiayaan yang dilaporkan terjadi pada 4 Oktober 2024. Dalam laporan tersebut AN diduga mengalami penganiayaan biasa atau ringan.
Tetapi, dalam perkembangan dalam kasus tersebut adalah laporan tersebut telah dicabut oleh pelapor di hari yang sama di Polda Metro Jaya.
Alasan dari pelapor mencabut laporan tersebut karena menyelesaikan perkara tersebut secara kekeluargaan.
Beredarnya kasus ini berawal dari sebuah postingan di akun Instagram @sunankalijaga_sh yang mengunggah kasus penganiayaan wanita berusia 27 tahun oleh seoran Ketum parpol.
Dalam unggahan tersebut, pemilik akun sempat membagikan momen bersama korban yang terbaring lemah di rumah sakit pada Kamis, 3/10/2024, pukul 22.46 WIB. Namun, tidak lama postingan tersebut telah dihapus oleh pemilik akun.
Elprisdat menjelaskan bahwa praktik adanya intervensi dalam media-media besar ini bisa saja terjadi jika melihat datanya yang berusaha untuk meredam kasus tersebut.
“Masuk akal, kalau saya bilang kita bilang benar salah kita enggak tahu ya. Masuk akal bahwa media besar mudah diintervensi karena datanya kelihatan, orangnya ketahuan. Kalau sosmed anda mau intervensi yang mana dia bisa cloning sekian banyak. Nah, tapi yang menarik juga sebenarnya intervensi itu kan satu, satu apa ya satu cara atau satu alternatif lah untuk meredam itu,” jelasnya Mantan Ketum Dewas LPP TVRI, Elprisdat M. Zen, dalam Podcast Hanya Disini (PHD) 4K di Forum Keadilan TV, dikutip pada Senin, 21/10/2024.
Namun, menurutnya hal ini berbeda dengan sosial media yang tidak dapat diredam seperti media-media besar dikarenakan pressure group yang memobilisasi sosial media.
“Mobilisasi ini bukan digerakkan ya tapi kesadaran bersama, kalau kata Herman Kartajaya ini orang-orang jadi marketer evangelist itu dianggap tugas suci buat mereka membuka itu. Mereka cari sendiri lakukan sendiri tapi akumulasi daripada apa akumulasi dari eksposurnya itu membuat yang lain consider mempertimbangkan,” jelasnya.
Era public pressure, kata Elprisdat, berada dalam dunia maya dan bukan di media mainstream. Pressure ini pun belum diketahui berasal dari generasi Z atau Y.
“Enggak tahu saya, yang melakukan penekanan. Nah, untuk di level birokrasi dimana orang yang formalistik terutama mereka menganggap ini benar setelah di capture sama media mainstream, seolah-olah sudah ada kurasinya, dan dan praktiknya begitu kan sekarang. Berita beredar dulu jadi bisik-bisik macam-macam kalau dia lolos ke atas baru dia bergerak lagi, tapi ada kalanya dipadamkan disini kan dalam tanda kutip gitu,” tuturnya.
“Emang bisa dipadamkan ya praktiknya menurut saya masuk akal sekarang ini,” imbuhnya.*