FORUM KEADILAN – Dalam memperingati 40 tahun Tragedi Tanjung Priok, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut bahwa pemerintah gagal mengusut tuntas peristiwa tersebut.
Usman menilai Tragedi Tanjung Priok serupa dengan kasus pelanggaran HAM lainnya yang tidak pernah diselesaikan secara menyeluruh. Tidak ada satu pun pelaku yang dituntut.
“Negara memiliki utang keadilan yang amat besar, sama seperti kasus Munir dan Tragedi Semanggi II yang juga terjadi di bulan ini, negara gagal mengungkap tuntas Tragedi Priok, menuntut pelakunya, dan mengoreksi kebijakan yang menyebabkan tragedi itu. Kasus Priok terjadi akibat kebijakan monolitik negara yang represif atas nama Pancasila,” kata Usman kepada Forum Keadilan, Jumat, 13/9/2024.
Tragedi Tanjung Priok, menurut Usman, merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Usman merasa prihatin bahwa meskipun pemerintah masih berpegang pada Pancasila sebagai filosofi bangsa, mereka sendiri telah melanggarnya.
“Selama empat dekade negara kehilangan kesempatan untuk menghidupkan kembali dasar negara yang inklusif, yaitu Pancasila. Tanpa menuntaskan Tragedi Priok, maka sulit berharap Pancasila kembali menjadi filosofi berbangsa yang memuliakan persaudaraan universal dan keadilan sosial,” lanjutnya.
Usman juga menyoroti bahwa para pelaku Tragedi Tanjung Priok masih bebas dan tampaknya menerima impunitas dari negara.
“Mereka yang terlibat masih lolos dari hukum dan yang pernah diproses berujung bebas. Mantan petinggi kebijakan dan pemegang komando keamanan yang bertanggung jawab tidak dituntut. Ini membuat impunitas di negara ini semakin mengakar,” tegas Usman.
“Kami mendesak negara segera membuka kembali kasus ini dan mengusut tuntas siapa yang paling bertanggung jawab. Pengakuan 12 pelanggaran berat HAM oleh pemerintah tidak cukup untuk memberi rasa keadilan bagi korban. Proses yudisial harus tetap dilakukan, apalagi Tragedi Tanjung Priok tidak termasuk 12 pelanggaran berat HAM yang diakui,” tambahnya.
Komnas HAM sebelumnya melaporkan bahwa setidaknya 55 orang terluka dan 23 orang tewas akibat tindakan represif negara dalam peristiwa yang terjadi pada 12 September 1984 atau 40 tahun lalu.
Banyak orang, terutama santri dan jamaah Masjid As-Saadah, ditangkap tanpa proses hukum yang jelas. Beberapa bahkan hilang.
Tragedi Tanjung Priok pernah diproses di Pengadilan HAM ad hoc pada 2003. Pada pengadilan tingkat pertama, 12 terdakwa dinyatakan bersalah, dan negara diperintahkan memberi kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan keluarga.
Namun, pada 2005, Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan para terdakwa. Mahkamah Agung (MA) kemudian menolak permintaan jaksa untuk membatalkan putusan bebas tersebut pada 2006, menyatakan bahwa kasus ini tidak termasuk pelanggaran HAM berat karena korbannya adalah warga sipil yang juga bersenjata, sehingga harus diproses di pengadilan pidana dan bukan di pengadilan HAM.
Putusan bebas tersebut mencabut kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya.*
Laporan Reynaldi Adi Surya