Permohonan Kandas di MK, Novel Baswedan cs Gagal Seleksi Capim KPK

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Novel Baswedan dan beberapa mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait persyaratan pencalonan sebagai calon pimpinan (capim) KPK.
Dalam agenda sidang pembacaan putusan perkara Nomor 68/PUU-XXII/202 dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama delapan hakim konstitusi lainnya, Mahkamah menolak provisi dan juga seluruh dalil permohonan Pemohon. Meski begitu, terdapat satu hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion (DO), yaitu Arsul Sani.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Suhartoyo di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 12/9/2024.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa penentuan batasan usia paling rendah ataupun batasan usia paling tinggi dalam suatu Undang-Undang merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang, yang hanya dapat dinilai atau diadili oleh Mahkamah apabila penentuan usia demikian melanggar berbagai batasan kebijakan hukum terbuka.
Oleh karena itu, Mahkamah tidak menemukan adanya pelanggaran batasan suatu kebijakan hukum terbuka, dan kebijakan hukum demikian tidak pula menimbulkan problematika kelembagaan.
“Karena tidak menemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kebijakan hukum terbuka, Mahkamah menganggap perubahan syarat usia paling rendah sebagai pimpinan KPK tidak membuat ketentuan atau norma demikian menjadi tidak dapat atau tidak mungkin dilaksanakan,” katanya.
MK juga tidak menemukan adanya potensi yang kuat bahwa perubahan syarat usia demikian mengakibatkan kebuntuan hukum (deadlock) serta menghambat pelaksanaan tugas-tugas KPK sebagai lembaga pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
“Sesungguhnya dengan mengubah batas syarat paling rendah usia calon pimpinan KPK, menjadi lebih rendah atau menjadi lebih tinggi, menurut Mahkamah tidak akan serta-merta mengakibatkan bertambahnya jumlah pendaftar yang berintegritas atau berkurangnya jumlah pendaftar yang berintegritas,” kata Suhartoyo.
Apalagi, jika diasumsikan bahwa faktor syarat usia paling rendah an sich menentukan kualitas integritas pimpinan KPK terpilih. Sebab, menurut MK, dalam proses seleksi pimpinan lembaga negara, termasuk KPK, terdapat banyak faktor yang memengaruhi hasil seleksi selain masalah usia, antara lain kemampuan manajerial (leadership) untuk mengelola dan mensinergikan semua sumber daya yang bekerja sama di bawah KPK.
“Kemampuan demikian lah yang bagi Mahkamah justru secara substansial membedakan antara persyaratan seleksi pimpinan KPK dengan persyaratan seleksi pegawai KPK. Sebab, antara pimpinan KPK dengan pegawai KPK terdapat perbedaan karakter tugas serta tanggung jawab. Terlebih, proses seleksi pimpinan I KPK dengan proses rekrutmen pegawai KPK memiliki perbedaan,” katanya.
Terkait dalil perbaikan lembaga KPK, MK menyatakan bahwa perbaikan lembaga anti rasuah dapat dilakukan dengan proses seleksi dengan menghasilkan calon pimpinan yang lebih baik dan berintegritas serta memiliki kompetensi yang handal.
Selain itu, para Pemohon dapat menunggu kesempatan pada periode berikutnya untuk mendaftarkan diri sebagai calon pimpinan KPK. Mahkamah berpendapat, para Pemohon tetap dapat memberikan kontribusi melalui peran serta masyarakat untuk turut serta melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK.
Untuk diketahui, Novel dan kawan-kawan menguji konstitusionalitas norma Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022.
Pasal tersebut mengatur ketentuan persyaratan untuk diangkat sebagai Pimpinan lembaga anti-rasuah harus memenuhi batas usia minimal paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah untuk menambahkan frasa “Berpengalaman sebagai pegawai KPK yang menjalankan fungsi utama KPK yaitu pencegahan atau penegakan hukum tindak pidana korupsi sekurang-kurangnya selama 1 periode masa jabatan pimpinan KPK“.
Selain itu, dalam provisinya, mereka juga meminta agar Mahkamah menjatuhkan putusan sela untuk menunda proses seleksi calon pimpinan KPK periode 2024-2029 yang telah ditutup pada Senin, 15/7 lalu dan memberikan kesempatan pada para Pemohon untuk melakukan pendaftaran dan mengikuti rangkaian proses seleksi capim KPK.
Tegaskan Pembentuk UU Tak Boleh Sering Ubah Syarat Usia
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menilai bahwa berkaitan dengan syarat usia merupakan wilayah kebijakan hukum terbuka pembentuk Undang-Undang, yakni DPR dan Pemerintah.
Selama ini, MK juga tidak memposisikan diri untuk tidak memberikan penilaian terhadap norma tersebut, kecuali jika DPR dan Pemerintah melanggar moralitas dan rasionalitas, tidak menyalahgunakan kewenangan, tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, tidak bertentangan dengan hak politik dan tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat.
MK kembali menegaskan bahwa syarat usia paling rendah dan paling tinggi merupakan wewenang pembentuk UU. Namun, Mahkamah menggarisbawahi bahwa Pemerintah dan DPR tidak boleh dengan mudah maupun terlalu sering mengubah syarat usia untuk menjadi pejabat publik, baik pejabat yang dipilih maupun yang diangkat sebagaimana terdapat dalam beberapa norma Undang-Undang.
Penegasan Mahkamah demikian diperlukan mengingat bahwa mengubah syarat usia paling rendah maupun syarat usia paling tinggi terlalu sering dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena mudahnya terjadi pergeseran parameter acuan kapabilitas atau kompetensi seseorang untuk menduduki jabatan dalam suatu lembaga/organisasi publik.
“Jika hal tersebut sering diubah, besar kemungkinan pembentuk Undang-Undang akan merumuskan kebijakan ‘penyesuaian usia’ untuk menghalangi hak konstitusional warga negara lainnya dengan tujuan antara lain untuk ‘motif politik’ tertentu,” kata Hakim Arief Hidayat.
Di samping itu, MK juga menegaskan kembali terkait pertimbangan Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Komisioner KPK Nurul Ghufron, di mana Mahkamah menyesuaikan masa jabatan pimpinan KPK yang semula 4 tahun menjadi 5 tahun
Dalam pertimbangannya, Mahkamah bertujuan agar pada saat penggantian calon pimpinan dan juga Dewan Pengawas KPK yang dihasilkan panitia seleksi tidak lagi diajukan dan diangkat oleh pemerintahan periode yang sama.
“Hal ini akan lebih menjamin independensi KPK karena tidak ada keterpengaruhan atau ketergantungan kepada pemerintahan sebelumnya yang terlibat dalam pelaksanaan proses seleksi,” kata Suhartoyo.
Hormati Putusan MK
Ditemui usai persidangan, Novel menghormati segala putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, ia menggarisbawahi beberapa catatan penting dalam pertimbangan Mahkamah.
Hal pertama yang Novel soroti ialah terkait perubahan batas usia untuk syarat calon pimpinan KPK yang kerap diubah beberapa kali oleh pembentuk Undang-Undang. Mahkamah mengatakan bahwa hal tersebut dapat berpotensi menghadang dan menghalang-halangi individu tertentu untuk maju sebagai calon pimpinan KPK.
“Tentunya ini menggambarkan kepedulian dan kejelian dari MK terkait persoalan ini,” kata Novel.
Selain itu, setiap dalil permohonan yang diajukan Pemohon disepakati oleh para hakim konstitusi, meskipun pada akhirnya MK menolak permohonan yang mereka ajukan.
Novel juga mengapresiasi pendapat berbeda atau dissenting opinion yang disampaikan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Menurutnya, Arsul memahami karena memiliki pengalaman sebelumnya soal masalah hukum dan juga masalah di KPK selama menjadi anggota dewan.
Pada intinya, Arsul menerima sebagian permohonan Pemohon dengan ketentuan berpengalaman sebagai Pegawai KPK yang bekerja di bidang pencegahan atau penindakan tindak pidana korupsi sekurang-kurangnya 10 tahun.
Di sisi lain, Novel tidak menyesali soal provisi yang mereka ajukan ditolak oleh MK. Dalam provisinya, para Pemohon memohon agar MK meminta panitia seleksi capim KPK untuk menghentikan proses seleksi sampai amar putusan dijatuhkan.
Hal yang Novel khawatirkan justru beberapa tokoh yang dinilai memiliki pengalaman dan integritas baik untuk menjadi capim KPK banyak yang gagal di tengah jalan. Apalagi, kata dia, rangkaian seleksi sudah mencapai titik akhir dengan menyisakan 20 orang calon.
“Jangan sampai pansel KPK memilih orang bermasalah yang dapat membuat KPK semakin hancur, sehingga orang menjadi tidak mau lagi untuk mendaftar dan memperjuangkan lembaga anti rasuah karena sudah terlalu rusak,” tuturnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi