Kisah Ikrar Nusa Bhakti Turut Melengserkan ‘The Smilling General’

Prof Ikrar Nusa Bhakti. | Dok. Forum Keadilan
Prof Ikrar Nusa Bhakti. | Dok. Forum Keadilan

FORUM KEADILANProf Ikrar Nusa Bhakti merupakan salah satu dari 19 peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang membuat pernyataan keprihatinan agar Soeharto tak menjadi presiden lagi pada tahun 1998.

Guru Besar Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI ini bercerita, sebenarnya, cita-citanya adalah menjadi pilot. Namun, mimpinya berubah seiring berjalannya waktu.

Bacaan Lainnya

Ikrar pernah menghabiskan masa kecil di Kota Biak, di Teluk Cendrawasih dekat sebelah Utara pesisir Provinsi Papua pada 1965-1969.

Ia juga sempat tinggal di daerah yang dilanda konflik tri-parti antara pendatang dari Kepulauan Sulawesi, prajurit TNI yang sebagian besar berasal dari Pulau jawa, dan penduduk asli wilayah Papua sendiri.

Dengan pengalaman masa kecilnya itu, Ikrar mengubah haluan cita-citanya dan memilih ilmu politik sebagai pijakan pendidikan.

Alhasil ia lulus dari Departemen Ilmu Politik Program Studi Hubungan Internasional FISIP-UI, 1983 atau angkatan ’78 FISIP UI.

Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di Griffith University, Australia tahun 1993.

Pada tahun 1984 hingga 2017, Ikrar menjadi peneliti di LIPI. Kepada Forum Keadilan, ia mengungkap pengalamannya ketika menjadi peneliti di LIPI, masa di mana dirinya mempertaruhkan karier demi reformasi.

Saat itu menjelang 98, Ketua LIPI Prof Dr Sofyan Tsauri memberikan lampu hijau kepada para peneliti untuk melawan penguasa.

“Peneliti boleh salah, tapi enggak boleh bohong,” ucap Ikrar menirukan ucapan Prof Sofyan.

Mendapat ‘sinyal masuk’, Prof Ikrar dan peneliti lain pun mulai bergerak. Karier mereka pertaruhkan demi masa depan demokrasi.

Seketika perjuangan mereka berhasil dan ‘The Smilling General’ lengser, kebanggaan pun muncul dalam diri Ikrar dan kawan-kawan.

“Alhamdulillah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Jika tidak, 19 peneliti tersebut mungkin dipecat dari LIPI,” ungkapnya.

Pasca-peristiwa bersejarah itu, lelakon dirinya sebagai pengamat bidang politik domestik, (strategi) militer, serta hubungan internasional semakin melejit. Ia bahkan pernah didapuk menjadi Duta Besar Indonesia untuk Tunisia sebuah negara di Afrika Utara di tahun 2017-2021.

Ikrar mengungkapkan, menjadi seorang Peneliti LIPI menjadikannya beruntung. Karena, diundang ke kampus kenamaan dan lembaga penelitian di berbagai negara di beberapa benua.

Di satu sisi, Ikrar mengaku sedih, ketika sudah menjadi bagian melengserkan Soeharto, muncul seorang presiden yang ingin membangun tirani dan dinasti politik bagi keluarganya.

Hingga di umurnya ke-67 tahun, Ikrar masih aktif menjadi narasumber yang kritis terhadap rezim yang keluar dari jalur demokrasi.

Hingga kini, suara kritis Ikrar selalu mewarnai artikel, buku, dan jurnal mancanegara.*

Laporan Merinda Faradianti

Pos terkait