Komisi I DPR Sebut Ketakutan Akan RUU TNI Tidak Relevan

FORUM KEADILAN – Revisi undang-undang (RUU) perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pasal justru dinilai membawa masalah bagi negara ke depannya.
Dalam kajiannya, Koordinator Peneliti Imparsial Hussein Ahmad mengkritik adanya perubahan peran dan tugas TNI yang serupa seperti masa Orde Baru. Sebab, salah satu pasal di RUU tersebut memperluas peran TNI tidak hanya untuk pertahanan, melainkan juga menjaga keamanan.
Menurut Hussein, perubahan peran tersebut menyebabkan tugas TNI menjadi rancu. Apalagi, kata dia, TNI dibentuk untuk berperang dan menjaga kedaulatan negara.
Hal serupa juga sempat diungkapkan oleh Direktur Imparsial Gufron Mabruri. Menurutnya, perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM.
“Pertama, perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukkan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara,” kata Gufron dalam keterangannya, Rabu, 17/7/2024.
Kedua, lanjut Gufron, perluasan peran TNI menjadi aparat penegak hukum. Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa angkatan darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional.
Gufron memandang, ketentuan ini keliru dan bertentangan dengan amanat Pasal 30 (2) dan (3) sebagai alat pertahanan negara dan TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
“Apabila revisi UU TNI disahkan maka sudah pasti akan terjadi silang sengkarut dan overlapping tugas dan peran TNI dengan Polri,” ungkapnya.
Ketiga, penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Gufron menyebut, ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI. Padahal militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang. Hal itu merupakan raison d’etre (hakikat) militer di negara manapun.
Keempat, soal perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Adanya usulan perubahan ini memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas. Hal tersebut dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru.
RUU TNI Bukan Pesanan
Banyak pihak yang menilai bahwa RUU TNI sebenarnya bukanlah hal mendesak, sehingga DPR tak seharusnya terburu-buru membahas revisi tersebut. Bahkan, Imparsial sempat mendesak DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU TNI pada sisa masa kerja mereka.
Dalam Podcast Dialektika Madilog Forum Keadilan, Host Budhius Pialang dan Indra Pialang menanyakan hal tersebut kepada anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono. Dave menjelaskan bahwa selama DPR mampu, kenapa tidak dilakukan.
“Saya justru bertanya, kenapa tidak diselesaikan sekarang? Kan kita masih digaji. Masa kita enggak boleh kerja. Kalau memang bisa selesai, kenapa tidak?” katanya dalam Podcast Madilog Forum, Selasa, 6/8/2024.
Dave juga menegaskan bahwa dulu dan sekarang situasinya berbeda. Jadi, kekhawatiran dan ketakutan RUU TNI akan membawa kembali Orde Baru itu tidak relevan.
“Tuduhan, ketakutan, kekhawatiran tersebut tidak relevan,” imbuhnya.
Kemudian soal perluasan penempatan TNI aktif juga tak dilakukan sembarangan, kata Dave juga tidak sembarangan. Penugasan itu bukan berdasarkan perintah Mabes TNI, melainkan harus berdasarkan permintaan lembaga yang bersangkutan.
“Itu tidak otomatis. Jadi, berdasarkan permintaan dan penugasan. Dan itu pertanggungjawabannya sama, kan pemimpin lembaganya sipil,” pungkasnya.*