FORUM KEADILAN – Belakangan ini, istilah ‘tobrut’ viral di berbagai platform media sosial (medsos). Istilah tersebut untuk menggambarkan perempuan dengan ukuran payudara besar. Ungkapan tobrut sendiri dianggap melecehkan perempuan secara verbal dan dikecam berbagai kalangan.
Pelecehan verbal sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.
Dalam UU TPKS mengatakan, “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara non-fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual non-fisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Theresia Iswarini mengatakan, ungkapan tobrut memiliki konotasi negatif dan merujuk kepada pelecehan, sehingga tindakan tersebut bisa dipidana.
“Jika perempuan merasa tidak nyaman dan tidak terima dengan ungkapan ini (tobrut) karena merasa direndahkan dan dilecehkan, maka dapat mengadukan sebagai pelecehan non fisik,” katanya kepada Forum Keadilan, Sabtu, 3/7/2024.
Sebab, pelecehan verbal bisa dikategorikan sebagai pelecehan non-fisik. Di UU TPKS sudah mengatur bagaimana sanksi pelecehan seksual.
Tetapi, di balik bayang-bayang peraturan tersebut, Theresia mengkritisi aparat penegak hukum (APH) yang tidak paham terhadap UU tersebut.
“Masalahnya, memang APH yang perlu diperkuat dalam memahami UU TPKS ini,” lanjutnya.
Menurutnya, APH perlu dilakukan penguatan pemahaman definisi sembilan jenis kekerasan seksual yang telah diatur dalam UU TPKS. Karena, ketika APH tidak paham jenis kekerasan seksual itu, maka mereka akan menyumbang ketertundaan keadilan bagi korban.
Sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS, yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi.
Selain itu, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
“Selain itu, APH juga harus memahami bahwa pada kasus tertentu seperti perkosaan, ketiadaan saksi tidak berarti tidak ada kejahatan. Artinya, APH-lah yang seharusnya membantu korban dalam proses pembuktian, bukan mengabaikan korban,” tegasnya.
Kemudian, perspektif tidak menyalahkan korban juga penting dikikis dan fokus untuk membantu korban pelecehan.
Tak kalah pentingnya, menurut Theresia, APH penting memperkuat koordinasi dan kerja sama dengan pihak lainnya dalam proses pemulihan korban sejak awal pelaporan.
“Masyarakat penting untuk terus membantu korban kekerasan seksual dan tidak serta-merta menyalahkan korban. Masyarakat juga penting untuk menjadikan ruang hidup mereka menjadi ruang aman dari kekerasan seksual,” pungkasnya.*
Laporan Merinda Faradianti