Kala MK Pertanyakan Dampak Pendidikan Dasar Gratis pada Anggaran Negara

FORUM KEADILAN – Beberapa hakim konstitusi mempertanyakan dampak pendidikan dasar tanpa dipungut biaya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apabila putusan dikabulkan, Mahkamah tidak ingin hanya sekadar memberikan ‘cek kosong’ belaka.
Sidang lanjutan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo dan diikuti oleh delapan hakim konstitusi lainnya, dengan agenda mendengarkan keterangan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun, dalam persidangan hanya pihak Bappenas yang memberikan keterangan, sementara dari Dirjen Anggaran Kemenkeu berhalangan untuk hadir. Sehingga, keterangan dari Kemenkeu dan DPR baru dapat didengar pada sidang berikutnya yang diagendakan Mahkamah pada 14 Agustus 2024.
Perkara ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan beberapa individu lainnya yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang berbunyi, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pendidikan dasar selama 9 tahun (SD-SMP) diberlakukan tanpa dipungut biaya, sebab hal tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara (UUD) Republik Indonesia (RI) Tahun 1945.
Dalam persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mempertanyakan kepada Bappenas bagaimana konsekuensi apabila perkara a quo dikabulkan terhadap anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Ia lantas juga bertanya apakah hal tersebut dapat mengganggu anggaran pendidikan untuk pendidikan tingkat menengah dan pendidikan tingkat tinggi.
“Apa konsekuensinya kalau ini dikabulkan? Sebab, kalau itu nanti tidak tergambar dengan baik, kami khawatir Mahkamah salah dalam mengambil sikap. Ceritakan ke kita penyusunan anggaran yang bisa mudah dipahami,” kata Saldi di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 1/8/2024.
Selain itu, kata Saldi, Mahkamah juga memerlukan penjelasan lebih rinci terkait alasan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang hanya mendapat anggaran sebanyak 15 persen dari total dana anggaran pendidikan, yakni sebesar Rp98 Triliun sedangkan dana Transfer ke Daerah (TKD) yang lebih dari angka 50 persen.
Untuk diketahui, setengah persen dari anggaran pendidikan yang berjumlah sebesar Rp665 triliun dianggarkan pada TKD yang mencapai Rp346 triliun (52%) dengan rincian Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp212 triliun (61%), Dana otsus 2.2 triliun (1%) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp132 triliun (38%).
Anggaran tersebut juga disalurkan pada anggaran pendidikan pada belanja Kementerian Negara/Lembaga Rp47.3 triliun (7%) dan Kementerian/Lembaga lainnya Rp32 triliun (5%), dan anggaran pendidikan untuk Kementerian Agama sebesar Rp62 triliun (9%), Kemendikbud Ristek sebesar Rp98 triliun (15%) serta pembiayaan lain sebesar Rp77 triliun (12%).
“Karena kalau sudah turun ke daerah, nah itu kan cara pengelolaannya lain lagi di daerah. Apalagi sekarang politik lokal itu kan kadang-kadang menggunakan uang yang diturunkan ke daerah itu bisa juga untuk kepentingan-kepentingan politik,” katanya.
Saldi lantas meminta Bappenas agar memberikan gambaran yang konkrit agar Mahkamah memiliki pandangan yang seimbang antara permohonan yang diajukan Pemohon dengan desain pendidikan yang dilakukan Bappenas.
“Jadi, Bapak bisa menggambarkan kepada kami, kalau ini dikabulkan, ini akan terganggu, ini akan terganggu, ini akan terganggu. Nah, itu … itu yang paling penting di kami,” tuturnya.
Cek Kosong
Pernyataan senada juga dilontarkan oleh Arsul Sani yang meminta pencerahan soal kesepakatan politik antara Pemerintah dan DPR yang menyepakati anggaran minimum pendidikan sebesar 20%.
Menurut Arsul, keterangan dari masing-masing pihak dapat membantu Mahkamah dalam mengambil jalan tengah karena ia tidak ingin MK hanya sekadar memberikan cek kosong di mana pemerintah tidak bisa memenuhi kewajibannya.
“Mahkamah perlu diberi masukan ya, sehingga nanti apa pun putusan yang tidak hanya kemudian menjadi hal pemberian cek kosong atau artinya putusan yang amarnya itu menjadi masuk dalam kategori utopia, tapi tidak bisa dilaksanakan atau sulit untuk dilaksanakan dengan keterbatasan,” kata Arsul.
Arsul juga mempertanyakan anggaran dari sektor pendidikan apa yang bisa dikorbankan untuk memenuhi pendidikan dasar. Apalagi, ia juga menyoroti masing-masing kementerian yang berlomba-lomba untuk membuat pendidikan tinggi, padahal secara konstitusi hal tersebut tidak diletakkan sebagai kewajiban utama.
Sebagai informasi, saksi yang dihadirkan pemerintah pada sidang 23 Juli lalu, Kepala Biro Perencanaan Kemendikbud Ristek Vivi Andriani menyebutkan, setidaknya terdapat 22 kementerian dan lembaga yang menerima dana pendidikan yang diperuntukkan untuk pendidikan kedinasan, pelatihan oleh non satuan pendidikan, dan bantuan sosial untuk Kementerian Sosial.
Menurut Arsul, anggaran untuk pendidikan tinggi pada masing-masing kementerian bukan kewajiban nomor satu yang harus diutamakan. Ia menegaskan bahwa kewajiban pemerintah adalah menjalankan amanat konstitusi dengan memfokuskan pada pendidikan dasar.
“Garis dasarnya seperti ini, apa sih sebetulnya yang bisa digoyang dari alokasi APBN yang kurang lebih 20% untuk sektor pendidikan itu yang untuk menguatkan pendidikan dasar,” tanyanya.
Pada persidangan sebelumnya, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemerintah, Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Arsul Sani juga mengkritisi pemerintah soal kemungkinan-kemungkinan apabila perkara dikabulkan.
Mereka mengibaratkan perkara ini layaknya buah simalakama, di satu sisi merupakan amanat konstitusi, namun di sisi lain jika putusan dikabulkan hanya ibarat ‘cek kosong’ belaka di mana pemerintah tidak bisa menjalankan putusan MK.
Konsekuensi Pendidikan Dasar Gratis
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami merespons pertanyaan dua hakim konstitusi atas dampak yang kemungkinan dapat terjadi apabila pendidikan gratis untuk sekolah negeri dan swasta diterapkan.
Dalam proses perencanaan anggaran, Amich menyebut, Bappenas menentukan alokasi anggaran kepada pendidikan dasar, menengah dan tinggi berdasarkan skala prioritas. Ia menaksirkan bahwa setidaknya akan terdapat anggaran tambahan sebesar Rp28 triliun.
“Kami coba menghitung kasar saja, jadi konsekuensi tambahannya itu kira-kira akan ada mencapai kisaran saja, kira-kira Rp28 atau Rp30 triliun, kira-kira ini perhitungan kasarnya,” klaimnya.
Jumlah ini terhitung lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan Karo Perencanaan Kemendikbud Ristek Vivi Andriani yang memperkirakan perhitungan pendanaan apabila pendidikan dasar tanpa dipungut biaya yang mencakup sekolah negeri dan swasta menyentuh angka Rp655,2 triliun. Sementara perhitungan yang dilakukan oleh Pemohon hanya sebesar Rp84 triliun.
Di sisi lain Vivi menyebut bahwa Bappenas juga harus memberikan perhatian pada layanan pendidikan tingkat menengah dan pendidikan tinggi, mengingat adanya daya saing global dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Nah, itu pasti akan berayun antara pendidikan dasar yang memang dalam konstitusi itu diwajibkan untuk tanpa memungut biaya, kalau itu dipenuhi dan uang itu digeser ke pendidikan dasar, maka nanti yang pendidikan menengah juga akan terkorbankan, dan juga akan pendidikan tinggi juga akan mengalami pengurangan,” katanya.*
Laporan Syahrul Baihaqi