Persoalkan Ormas Keagamaan Nambang, Pemohon Minta IUPK Tanpa Didasari SARA
FORUM KEADILAN – Konstitusionalitas norma pemberian izin pertambangan kepada organisasi masyarakat keagamaan tengah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
“Pada pokoknya adalah norma pasal yang diuji memberikan ruang kewenangan terlalu luas kepada pemerintah untuk memberikan IUPK secara prioritas, merugikan hak konstitusional Pemohon karena ternyata pemerintah dapat memberikan IUPK secara prioritas dengan berbasis kepada ormas keagamaan,” ucap Rega Felix dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin oleh Enny Nurbaningsih dan dibantu oleh Guntur Hamzah serta Arsul Sani, Rabu, 24/7/2024.
Permohonan yang teregister dengan Nomor 77/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Rega Felix, seorang dosen sekaligus umat beragama yang tidak bergabung dalam kelompok ormas keagamaan.
Ia melakukan uji materiil pada Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) Undang–Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (UU Minerba).
Salah satu ketentuan yang mengatur pemberian IUPK kepada ormas keagamaan diatur pada Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) UU Minerba, yang berbunyi, “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat”.
Menurut Felix, kebijakan bagi-bagi jatah tambang kepada ormas keagamaan seolah hal yang baik, namun di sisi lain juga dapat ditafsirkan sebagai jalan menuju perpecahan. Apalagi, kata dia, bisnis pertambangan sudah diketahui sebagai bisnis yang dekat dengan kekuasaan dan penuh mafia.
Felix menyebut, bisnis pertambangan kerap kali berkonfrontasi langsung dengan masyarakat hingga menimbulkan konflik. Ia menduga jika ormas keagamaan hanya akan digunakan sebagai bemper untuk meredam konflik sosial.
“Misalkan perusahaan tambang selama ini kesulitan dalam menghadapi perlawanan sosial dari masyarakat, sehingga operasional perusahaan terganggu yang berakibat wilayah pertambangan menjadi terlantar,” tuturnya.
Untuk itu, dalam petitumnya ia meminta agar Pasal 6 Ayat (1) huruf j sebagaimana telah diubah berdasarkan Pasal I angka 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan“.
Ia juga meminta klausul “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat” yang tertera dalam Pasal 35 Ayat 1 UU Minerba dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan“.
Hakim Pertanyakan Letak Diskriminasi
Pemohon mengklaim bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam menentukan makna prioritas menjadikan norma dalam UU Minerba bersifat self reference. Untuk itu, ia menilai makna prioritas perlu diberikan tafsir konstitusional. Apalagi, kata Felix, UU Minerba dengan alasan “prioritas” seolah menjadi pembenaran akan diskriminasi berdasarkan SARA.
Dalam sesi pemberian nasihat oleh Mahkamah, Hakim Konstitusi Arsul Sani mempertanyakan di mana letak diskriminasi dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus kepada ormas keagamaan tertentu.
Menurutnya, norma yang diatur dalam UU tersebut sudah jelas di mana pemerintah menawarkan IUPK kepada ormas keagamaan. Apabila ada yang menerima ataupun menolak harus dihormati hal tersebut.
“Kalau misalnya yang mayoritas di negeri ini Islam, yang diberikan ormas Islam itu jelas diskriminasi. Harus dijelaskan letak diskriminasinya,” kata Arsul.
Setelahnya, Arsul mempertanyakan petitum Pemohon yang meminta agar Mahkamah menambahkan frasa “tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan“. Ia menilai, apabila Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon, maka hal tersebut dapat memberikan dampak negatif kepada masyarakat hukum adat.
“Kalau itu ada pertimbangan katakan lah suku, bagaimana kemudian masyarakat hukum adat di sekitar, kan tertutup juga berarti. Enggak boleh ada IUPK yang diberikan ke masyarakat hukum adat,” tuturnya.
Padahal, kata Arsul, pemberian IUPK kepada masyarakat hukum adat dalam rangka memberikan keadilan. Ia pun meminta agar Pemohon mengelaborasi kembali permohonannya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar Pemohon membaca sungguh-sungguh norma yang dimohonkan pengujiannya. Ia juga meminta agar Pemohon membaca konsideran pertimbangan bagaimana pemanfaatan sumber daya alam untuk hajat hidup masyarakat.*
Laporan Syahrul Baihaqi
